Saya tidak suka orang-orang yang berkumpul sampai banyak
sekali. Pernah jalan-jalan di sekitar pertokoan dekat alun-alun Bandung
menjelang buka puasa seminggu sebelum Lebaran? Selamat menikmati! Benar-benar
seperti cendol. Berdesak-desakan, sampai bernapas juga susah. Kapok deh. Pengalaman
yang mirip seperti ini harus saya jalani seminggu sekali selama satu semester di
zaman saya matrikulasi dulu. Matrikulasinya di Jakarta dari hari Senin sampai
Jumat, sedangkan setiap hari Sabtu ada kuliah matrikulasi lagi di Depok. Untuk
pergi kuliah yang ini kami semua yang kos di Jakarta menggunakan kereta KRL
jurusan Salemba-Depok. Haduh... baunya, sesaknya, keringatannya,
sikut-sikutannya! Sampai sekarang perasaan saya campur aduk kalau ada orang
yang naik kereta ini setiap hari. Antara kasihan, kagum akan keuletannya, dan bersyukur
karena saya tidak perlu begitu lagi.
Di mana ada banyak orang berkumpul, di sana ada
bunyi-bunyian ribut. Kalau soal ribut-ribut ini, ternyata tidak hanya ada di
fasilitas minim kelas menengah ke bawah saja seperti kereta api kelas ekonomi,
pasar malam, atau alun-alun. Mall-mall
yang dianggap elit itu sama saja. Entah PVJ dan BSM di Bandung atau Galeria di
Denpasar. Ada saja tempat yang memasang pengeras suara sampai pol, terus MC-nya
teriak-teriak. Atau toko-toko yang dengan entengnya memutar lagu dengan
sekencang-kencangnya. Apalagi kalau menjelang hari besar agama. Saking tidak
sukanya pada bunyi ribut ini, saya rela melewati Lebaran tanpa baju baru,
daripada belanja mepet sebelum Lebaran. Sampai sekarang saya tidak mengerti,
kenapa banyak orang suka ramai-ramai dan ribut-ribut?
Herannya, di Ubud ini saya bisa menikmati keramaian. Waktu
itu dengan teman saya pergi ke Pasar Ubud untuk pertama kali. Berangkatnya pagi-pagi.
Ternyata pasarnya ramai sekali. Motor yang parkir di depan pasar sampai
berlapis tiga. Orang asing sedikit sekali sedangkan penduduk lokalnya banyak
sekali, beda dengan situasi sore hari. Di depan pasar banyak mobil bak terbuka
yang dipakai jualan sayur, buah dan bunga-bunga yang dirontokkan kelopaknya
untuk keperluan sesajen. Ada juga mobil yang mengangkut anak-anak babi dalam
kandang bambu. Lucu juga mereka dengan kulit warna merah muda dan hidung basah
yang selalu mendengus-dengus. Tapi, baunya minta ampun!
Pasar tradisional memang menarik, asal saja jangan terlalu
kotor dan bau. Di pasar ini saya lihat beberapa turis asing dalam
kelompok-kelompok kecil ditemani oleh pegawai hotel yang berseragam asisten
koki. Mungkin mereka ini peserta kursus masak yang digiring untuk melihat-lihat
pasar sebelum acara utamanya digelar. Saya tidak melihat mereka membawa
keranjang belanja. Ada seorang yang bawa keranjang, tapi isinya cuma daun
pisang. Saya bisa membayangkan pelajaran memasak mereka. Kokinya berkata, “Ibu-ibu
dan Bapak-bapak, sekarang kita akan mulai memasak hidangan Bali yang eksotik.
Anda semua sudah melihat pasar di mana keperluan dapur Bali diperoleh. Tapi
jangan kuatir, semua bahan yang kita gunakan di sini berasal dari supermarket yang terjaga mutu dan
kesegarannya.” Hehehe.
Keramaian lainnya saya datangi karena kebetulan. Waktu sedang
putar-putar sedikit di luar Ubud, kami melihat orang-orang berkumpul. Kami yang
tidak diundang ini mendekat sambil celingukan dan cari info acara apa yang
sedang digelar. Ternyata itu pasar malam yang sederhana sekali, diselenggarakan
untuk mengumpulkan dana perbaikan pura desa. Orang bisa membeli kupon seharga
10 ribu dengan hadiah utama motor. Kami membeli kupon masing-masing satu.
Puncak acara yang ditunggu-tunggu adalah acara joget. Yiiha! Sambil menunggu
saya melihat-lihat jualan. Saya ditawari main judi yang kebanyakan pesertanya
mempertaruhkan uang dua ribuan. Saya tolak, alasannya mau lihat dulu permainannya.
Ternyata menebak gambar binatang. Orang menaruh uang taruhannya pada kotak
bergambar binatang yang dipilihnya. Sepertinya yang bertaruh jarang sekali
menang, tapi kok tidak kapok-kapok juga, ya.
Sudah beberapa kali saya mendengar tentang joget. Dalam
bayangan saya, itu adalah pertunjukan musik dan penyanyi dangdut berpakaian
seronok yang mengajak para penonton terlarut dalam goyangan joget sambil mata
merem melek. Tapi ternyata penarinya berkostum tari tradisional dan menari di
hadapan laki-laki yang diundangnya ke panggung yang sekali-kali mencoleknya.
Kalau colekan itu sudah keterlaluan, dipukulnya dengan kipas. Hm, ini sih
namanya ronggeng atau tayub kalau di Pulau Jawa. Kebetulan waktu itu saya
sedang membaca buku tentang ronggeng di Pantura Jawa Barat. Jadi saya sangat
tertarik. Saya sampai naik ke atas bangku supaya bisa melihat lebih jelas,
sambil menahan malu karena teman saya memanjat adalah anak-anak kecil. Para
perempuan dewasanya semua berkebaya dan berdiri tenang. Mungkin mereka tidak
mau memanjat karena repot ya, kan pakai sarung? Acara hura-hura ini termasuk
sakral juga, jadi sarung itu wajib.
Akhirnya, keramaian ketiga yang saya ikuti adalah upacara piodalan. Tempatnya tidak jauh,
dipusatkan di bale desa yang sehari-harinya digunakan bapak-bapak untuk kumpul
sambil ngobrol, nonton TV, main kartu atau bengong saja. Bale yang kecil itu
dijadikan tempat gamelan. Alat musik yang tidak tertampung diletakkan di mana
saja di pinggir jalan. Peserta upacara semua duduk di tanah sampai mengisi
setengah badan jalan. Pecalang
mengatur lalu lintas mobil dengan memakai sistem buka tutup. Saya memandang
upacara ini sebagai darurat dan heran kenapa tidak diselenggarakan di pura saja
yang lebih luas dan tertutup, tapi buat mereka ini biasa-biasa saja.
Seperti biasa upacara dimulai dengan tarian yang dibawakan
oleh anak-anak. Ada yang muda sekali, mungkin baru 5 tahun umurnya. Yang
kecil-kecil ini cuma muter-muter saja sambil menggerakkan tangan seadanya. Lia
yang menari di sini tidak bisa merentangkan lengannya dengan leluasa. Bagaimana
ya rasanya menari seperti itu? Merentangkan tangan kanan, kena pagar tanaman.
Merentangkan tangan kiri, kena orang-orang yang enak saja seliweran. Saya juga kerepotan sekali waktu kehausan
dan ingin beli air kemasan di warung. Saya nyelip-nyelip cari jalan di antara
orang-orang yang bersimpuh. Beberapa kali saya menginjak kaki atau tangan mereka.
Sambil jalan saya merasa sarung yang saya pakai ujungnya semakin lama semakin
naik, naik, naik terus sampai ke lutut. Salah tingkah saya jadinya. Sampai di
warung saya tarik-tarik sarung saya supaya turun lagi. Ibu penjaga warung
bilang tidak usah ditarik-tarik, gaya baru memang begitu. Bener nih, Bu? Nggak
yakin nih. Saya belum menguasai teknik memakai sarung cara baru ini. Sarung
hanya sampai tengah betis, ujung kainnya serong. Keuntungannya kaki bisa
melangkah dengan lebar, tidak seperti memakai sarung sampai ke mata kaki.
Ngomong-ngomong, perempuan Bali itu seksi sekali lho kalau pakai kebaya ke pura
untuk upacara. Tapi kalau ke pantai tidak ada yang mau pakai baju renang. Apa tidak
terbalik, ya?
Waktu doa sedang dilangsungkan ada sepasang turis asing
duduk di samping saya. Mereka tidak bawa banten,
jadi yang dipakai adalah kipas yang dibuka lebar sebagai alas. Sebagai ganti
bunga-bungaan mereka meletakkan sebiji salak dan roti yang disobek-sobek.
Untung mereka bawa dupa, kalau tidak terpaksa deh pakai rokok. Bisa-bisa dewa
marah karena tidak suka baunya.
Ternyata keramaian itu bisa juga dinikmati. Saya yang lebih
suka suasana tenang dan teratur biasa saja melihat ada orang lewat di
tengah-tengah upacara. Duduk saja harus geser-geser terus untuk memberi jalan
pada sepeda motor dan mobil. Makan, minum, ngobrol di tengah upacara juga tidak
apa-apa. Santai aja, lagi!