Jen jengkel sekali dengan pemilik rumah kontrakannya yang
sering masuk tanpa ijin dan tahu-tahu sudah nongol di depannya. Dia
ngomel-ngomel.“Kamu untung saya tidak sedang telanjang!”Lah, kok ya Mbak Nurul juga lagi jengkel. Katanya,“Meskipun dia masuk ke halaman untuk memperbaiki pagar, atau
membereskan kaleng-kaleng bekas, rumah itu sudah saya kontrak, jadi dia harus
minta ijin untuk masuk ke rumah saya.” Suaranya berapi-api.Saya sebenarnya mau menambahi juga dengan cerita pengalaman
pribadi, tapi karena tidak bisa mengimbangi kejengkelan mereka, malahan merasa
senang dengan situasi yang ada, lebih baik diam saja.
Ceritanya, beberapa benda milik saya berpindah tempat.
Karena Mawar baru cerita barang-barang miliknya yang tidak berharga (untuk
pencuri) sudah menghilang, saya mengira ada orang yang iseng sama saya. Saya
segan untuk bertanya pada induk semang yang tinggal di lantai bawah. Iya kalau
benar dia, kalau tidak? Bisa tersinggung nanti. Tapi untunglah waktu ngobrol
santai akhirnya dia sendiri yang bilang kalau istrinya masuk ke rumah saya,
sebenarnya modelnya lebih mirip apartemen, untuk bersih-bersih. “Gak apa-apa
kan?” tanyanya. Heran saya kenapa dia bisa bilang itu tidak apa-apa. Tapi saya
juga menimbang-nimbang cepat, wah lumayan, ada yang ngebersihin rumah gratis.
Maka saya mengambil keputusan,
“Iya, gak apa-apa, sering-sering aja!” hehehe.
Makanya saya tidak menambahi cerita Jane dan Mbak Nurul
walaupun saya sebenarnya pendukung privacy
nomor satu, dan membenarkan Jen dan Mbak Nurul sepenuhnya.
Hampir setahun saya menikmati rumah dibersihkan gratis,
tanaman disiramkan gratis, sampah dibuangkan gratis. Baru bulan-bulan terakhir saja
servis itu berhenti karena istri Mas Karmin sudah kerja. Rumah Mas Karmin yang
saya sewa itu adalah tempat tinggal saya yang ketiga di Ubud. Pertama saya kos,
kedua bertetangga dengan Intan (kangen sekali dengannya), ketiga di tempatnya
Mas Karmin. Saya sekarang sudah pindah lagi ke nomor empat supaya lebih sepi.
Di bulan-bulan terakhir tempat Mas Karmin sudah kurang nyaman. Suara orang
membangun tidak berhenti dari siang sampai malam. Satu selesai, satu lagi
dibangun. Di tempat nomor empat inilah rasa kepemilikan saya paling besar,
hehehe. Di tempat Mas Karmin saya sudah kompromi, saya biarkan saja Andre,
keponakannya Mas Karmin, naik ke tempat saya. Apalagi dia juga tahu diri,
selalu memberi tahu sebelum muncul.
“Mbak, mau ambil sampah!” serunya dari jauh.
Meskipun jendela terbuka lebar dan gorden terpentang, saya
tetap baring-baring di tempat tidur dan cuma berpose lebih sopan saja. Sesudah
itu dia cepat turun lagi. Dia tidak pernah lupa bilang permisi, meskipun kadang-kadang
saya sendiri yang minta tolong dipasangkan bola lampu atau keran dispenser.
Kadang-kadang ada yang keluarga Mas Karmin lakukan tanpa bilang dulu. Sebenarnya
lebih baik ngomong dulu sama saya meskipun semuanya itu untuk maksud baik. Ah,
sudahlah, demi yang gratis-gratis tadi saya juga tidak banyak protes.
Tempat tinggal yang nomor empat ini saya sukai terutama
karena ada sawah di depan dan di belakangnya. Tapi halamannya benar-benar
dirancang dengan cara yang sangat aneh. Pintu gerbangnya ada tiga dan semuanya
aneh. Pintu gerbang utamanya bisa dimasuki dari jalan kecil --namanya juga di pinggir sawah-- tapi begitu masuk jangan harap bisa langsung
melihat pintu rumah karena kamu masuknya dari belakang! Depan jadi belakang dan belakang jadi
depan. Kalau dari pintu gerbang utama
ini langsung belok kiri menyusuri gang, ujungnya adalah pintu gerbang nomor dua
yang tembus ke …rumah tetangga! Maksudnya apa coba? Kalau tadi tidak langsung belok kiri melainkan
lurus tentu saja akan ketemu halaman, teras dan pintu rumah. Halaman ini sudut
sebelah kirinya tidak tertutup tembok atau pagar melainkan ada jalan tembusnya.
Ke mana? Lorong ini terus melewati rumah tetangga dan di ujungnya barulah kita ketemu
gerbang nomor tiga yang juga tembus ke rumah lain. Rumahnya Mawar. Jadi rumah
saya bisa dimasuki dari jalan, dari rumah sebelah, dan dari rumah Mawar. Ini maksudnya
apa to?
Memang pemilik dari tiga rumah itu adalah keluarga yang
sama, keluarga Pak Wayan. Malah sekarang ada rumah ke empat di sebelah kiri
saya yang ditempati oleh Miren. Rumah saya dijadikan pusat, jadi ada bangunan
sanggah (tempat sembahyang serta menaruh banten)-nya di pojok halaman. Pak
Wayan mengatur supaya dia bisa masuk dari semua pintu gerbang—dia punya
kuncinya. Saya tidak keberatan dia pegang kunci gerbang utama supaya bisa
menaruh banten di sanggah setiap saat diperlukan. Saya sudah dua kali mengganti
kunci gembok gerbang ini karena macet, dan setiap kali saya beri dia kunci
serepnya. Pintu gerbang yang tembus ke rumah Mawar cuma dibukanya kalau ada
upacara keagamaan yang penting saja supaya orang-orang bisa keluar masuk ke
sanggah dengan bebas. Saya sudah berdamai dengan kondisi ini. Tapi pintu
gerbang nomor dua? Pintu ini sering dibuka karena Pak Wayan menyimpan kayu-kayu
di rumah sebelah. Dengan kata-kata sopan saya protes waktu banyak tukang keluar
masuk mengambil kayu. Pak Wayan bilang dia tidak punya kunci serep pintu utama
rumah sebelah. Lah? Ya minta dong. Gerbang saya saja, tiga-tiganya dia punya
kuncinya. Tapi Pak Wayan tidak begitu mengerti apa yang saya minta, atau dia
tidak mengerti kenapa saya minta. Karena dia orangnya ramah sekali, saya
bersabar saja dan berusaha melihat kebaikan-kebaikannya. Apa ya? Kebanyakan dia
janji-janji saja. Mau membuat garasi bersama, cuma janji. Mau mengganti kulkas
dan kipas besar yang harusnya adalah properti rumah, cuma janji. Yang penting
ramah dan sopan. Protes ditampung, buka tutup gerbang jalan terus.
Pagi ini pas selesai mandi saya dengar suara-suara orang
keluar masuk dari pintu gerbang nomor dua. Cepat-cepat saya melilitkan handuk
di badan, menyambar kardigan dan memakainya untuk menutupi bahu lalu keluar. Saya
lihat seorang laki-laki muda sedang mengeluarkan tangga besi yang disimpan di
lorong antara pagar dan tembok rumah. Saya memberinya pandangan bertanya tanpa
kata-kata,
“Well, Anda mau
menerangkan kenapa Anda masuk tanpa ijin?”
Eh, dia membalas dengan pandangan hampa yang sama,
“Well, Anda mau
menerangkan kenapa buru-buru keluar dengan pakaian yang tidak pantas, lagian
ini kan tangganya Pak Wayan, bukan tangga Anda.”
Brengsek.
Begitu dia pergi dengan pesan akan kembali lagi untuk
mengembalikan tangga, saya membongkar kotak sepatu yang isinya macam-macam
benda yang disimpan karena prinsip siapa tahu perlu. Aha! Ini yang saya
butuhkan. Gembok baru! Saya pasang gembok ini di pintu gerbang nomor dua. Beres
deh.
Saya puas sekali dengan yang sudah saya lakukan. Dua gembok
untuk satu pintu, dengan kunci masing-masing dipegang oleh orang yang berbeda.
Saya rasa kotak penyimpanan di bank yang bisa disewa orang menggunakan prinsip
yang sama. Baik pihak bank maupun pihak penyewa punya kunci. Di film yang pernah
saya tonton, suasana ruang penyimpanan ini dibuat misterius sekali. Ketika
kunci diberikan kepada pemilik kotak penyimpanan, kamera mengambil gambar close up muka pegawai bank yang serius,
muka penyewa kotak, lalu langkah-langkah kaki di lorong, dan akhirnya jari
tangan yang sedang memutar kunci. Jreng! Ternyata isi kotak itu….. (surprise!).