Semakin
hari semakin banyak orang yang mempraktikkan yoga dan meditasi serta mencari
penyembuhan dengan metode alternatif seperti reiki, energi prana, pijat dan
sebagainya. Ubud sudah lama menjadi pusat dari semua kegiatan tersebut, bahkan
gaungnya sudah mencapai tingkat mancanegara dengan diselenggarakannya acara
berskala internasional “Bali Spirit Festival” di sini. Ini adalah acara tahunan
yang merayakan yoga, tari, dan musik. Salah seorang pengunjungnya menyebut
festival ini sebagai surganya para yogi. “Musik, senandung, derum genderang, dan
tawa memenuhi udara. Pelatihan-pelatihannya memberi inspirasi dan setiap orang
senang berada di sana. Acara-acara musik yang diselenggarakan di malam hari
menyajikan musisi terbaik dari seluruh penjuru dunia. Ini adalah festival
terbaik di dunia!” demikian ulasannya yang dimuat dalam tripadvisor.co.id.
Sebuah
tulisan di majalah tiga bulanan “UbudLife” menyebutkan bahwa Ubud adalah ruang
tunggu transit spiritual terbaik di dunia. Segala macam krisis yang mungkin
terjadi dalam hidup, seperti dikhianati pasangan, anak-anak meninggalkan rumah
karena mereka beranjak dewasa, karir hancur karena krisis ekonomi, merasa ada
sesuatu yang hilang dalam hidup, mencari kemajuan spiritual karena operasi
plastik tidak berhasil, mendapat diagnosa yang mengerikan dan tidak ingin
percaya pada dokter, adalah alasan banyak orang dari berbagai tempat di dunia datang
ke Ubud. Di sini mereka melakukan meditasi, yoga atau mendatangi penyembuh dari
berbagai aliran. Hehehe, Barat banget ya? Karena, meskipun meditasi dan yoga
merupakan tradisi Timur, orang Indonesia untuk mengurangi beban batinnya akan
lebih suka curhat di Facebook,
mengadu pada orang tua, bergosip di arisan atau belanja habis-habisan. Paling
tidak, begitulah kebiasaan teman-teman saya.
Baru
beberapa hari yang lalu saya membaca iklan sebuah paket istimewa yang dinamakan
Yoga Cruise di kafe dekat rumah.
Sesuai dengan namanya, paket itu diselenggarakan di kapal kayu besar yang
berlayar di perairan Bali dan sekitarnya. Acaranya adalah yoga, meditasi, snorkling, kayaking, kunjungan ke pulau-pulau
Gili di Lombok. Fasilitas penunjangnya adalah makanan sehat ayurvedic, teh herbal, musik yang
menenangkan. Bayangkan, meditasi di tengah laut! Kapan lagi bisa begini, ini
pengalaman sekali seumur hidup lho. Mau ikutan? Paket 7 hari harganya 12 juta
rupiah, kalau mau yang lebih murah ada juga yang 5 hari dengan harga 9,5 juta
rupiah saja. Paket lainnya, yang
mengiklankan diri di papan pengumuman pasar swalayan, menyatakan bahwa pada
dasarnya semua orang bisa melukis asal hambatan psikologisnya dihilangkan dulu.
Dengan meditasi Anda dapat mengekspresikan semua bakat artistik dalam diri yang
selama ini tidak tersalurkan dalam bentuk lukisan yang akan membuat diri Anda
sendiri terkejut (gila, ternyata gua bisa ngelukis, bagus lagi!). Ini
mengingatkan saya pada cerita seorang teman yang tiba-tiba bisa menari Jawa klasik
padahal seumur-umur tidak pernah belajar. Nah, jadi tertarik kan? Karena
diselenggarakan di darat, tentu harganya tidak semahal paket berlayar. Cukup 8
juta rupiah saja untuk seminggu. Lalu, apakah setelah program selesai masih
bisa melukis ? Um… saya tidak tahu. Tanyakan pada Panitia deh !
Maaf
kalau dua paket tadi semuanya di luar budget.
Tapi masih bisa diakali kok, misalnya dengan memilih paket yang tidak all-in. Kalau kebetulan punya teman yang
tinggal di Ubud dan bisa ditumpangi, kan lumayan, tidak perlu menggunakan
fasilitas kamar yang disediakan sehingga harga bisa lebih murah. Tentu trik ini
tidak bisa diterapkan untuk paket berlayar (kecuali kamu punya kenalan putri duyung
yang tinggal di dasar laut). Atau, bisa juga mengambil paket yang lamanya 3-4
hari saja, bahkan paket 1-2 jam saja. Tinggal lihat di daftar, pilih mana yang
menarik. Persis seperti memilih makanan di restoran padang, semua ada, semua
lengkap. Ada yang menggunakan mantra. Ada yang menggunakan genderang afrika.
Ada yang mengajak kamu menari bebas sesuai gejolak hati, tidak perlu punya
pengalaman menari sebelumnya. Ada yang mengajak kamu tertawa terpingkal-pingkal
meskipun sedang tidak ingin tersenyum apalagi tertawa. Ada yang menggunakan
nyala obor, dan sebagainya. Sejauh ini metode paling ajaib yang pernah saya
dengar adalah metode getar. Badan digetarkan dengan alat khusus selama 6 jam
sehari, 3 hari berturut-turut. Ketika kenalan saya yang ikut program ini
menerangkan apa gunanya metode ini untuk tubuh dan jiwa, saya sama sekali tidak
bisa mendengarkan saking sibuknya mengatur otot-otot muka agar tidak
menampilkan ekspresi ingin tertawa terbahak-bahak.
Nah,
siapa bilang meditasi itu membosankan? Sensasi tidak hanya bisa didapat dengan naik
ke puncak Menara Eiffel di Paris, ikut bungy
jumping di Hongkong, menyelam bersama hiu, naik roller coaster di Disneyland. Hey, sensasi juga bisa didapatkan dengan
menjalani meditasi di tempat sunyi! Saking keranjingannya orang akan sensasi,
paket berlayar yang saya ceritakan tadi memberi jaminan bahwa peserta bisa
berenang, snorkling, atau berperahu
kapan saja mereka mau. Kalau mau leyeh-leyeh di pantai berpasir putih sebuah
perahu siap mengantar kapan saja. Kurang apa lagi ?
Yoga
dan meditasi memang populer di Ubud, tapi tidak di antara penduduk lokalnya.
Malahan dalam buku “Jangan Mati di Bali” karangan Gde Aryantha Soethama disebutkan
bahwa orang Bali jarang sekali bermeditasi. Sedangkan di antara para penetap
yang bukan asli Bali, para yogi ini seperti sudah membentuk komunitas
tersendiri. Banyak yang memanfaatkan kegiatan yoga untuk menguruskan badan,
membentuk dada dan bokong agar padat, bahkan mencari pacar. Seperti percakapan
yang terjadi di tengah-tengah sesi yoga ini. “Ups, sorry, nggak sengaja nyenggol. Kamu bilang berapa tadi ya, nomor
telepon kamu?” Perempuan yang ditanya pun menjawab, “Saya sama sekali nggak
bilang apa-apa.” “Oh ya? Jadi berapa nomornya ?” “00112233”, jawabnya dengan
jengkel. Yang dijudesi sama sekali tidak tersinggung, dia cuma tersenyum dan
bertanya ke perempuan lainnya, “Gerakan Menyalami Matahari kamu lentur sekali
tadi. Bisa ajari saya gerakan Anjing meregangkan punggung? Saya ikuti dari
belakang ya, dekat-dekat biar nggak salah.” :)
Lalu
bagaimana dengan model meditasi yang saya ikuti akhir tahun yang lalu? Meditasi
ini gratis, kita hanya diharapkan memberi sumbangan di akhir program pada
vihara, yang dimasukkan dalam amplop tertutup tanpa menyertakan nama. Kalau
benar-benar tidak punya uang, seperti teman sekamar saya, ya tinggal menyelinap
pergi diam-diam, tidak apa-apa kok. Meditasi ini ‘sunyi’ dan ‘kering’, tanpa
musik, tanpa tarian, tanpa mantra, tanpa zikir, bahkan ketika makan bersama
pun suasananya sunyi senyap. Hasilnya, 3
orang mengundurkan diri sebelum program berakhir, dan dari obrolan setelah
program selesai banyak yang mengaku terus bertahan sampai akhir hanya karena
merasa tanggung sudah kepalang basah. Yang merasa cocok juga banyak. Mereka ini
yang bertekad akan terus bermeditasi meskipun sudah kembali ke kehidupan
sehari-hari. Mungkin tekad ini akan kendor, meditasinya jadi jarang-jarang
bahkan berhenti sama sekali beberapa bulan kemudian, untuk disegarkan lagi di program
retret berikutnya. Tidak apa-apa. Walaupun sudah tahu bahwa meditasi bukanlah
duduk bersila sambil menutup mata selama satu jam atau mengundurkan diri ke
tempat sepi, melainkan menyadari pikiran dari waktu ke waktu, penyegaran kan
perlu juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar