Yang saya maksud dengan Mbak dan Mas di sini adalah para
pekerja yang melayani kita di toko, restoran, hotel dan tempat sejenis lainnya.
Ketika sedang diantar menuju sebuah meja di restoran, Mbak bertanya pada saya,
“Ini suaminya?” Ih, apaan sih, mau tahu aja. Walaupun dongkol saya menjawab
dengan suara semanis madu, “Ini suami saya yang keempat. Sebelumnya suami saya
orang Turki, sebelum itu orang Rusia, sebelum itu lagi orang Armenia.” Saya harapkan
si Mbak ini bakalan melotot kaget, tapi dia cuma menjawab kalem, “Oh begitu,”
sambil senyum-senyum simpul. Sialan!
Lain lagi ceritanya ketika saya sedang berada di sebuah
kafe. Setelah ngobrol sedikit dan jadi agak akrab, si Mas bertanya berapa umur saya.
Saya cuma tertawa dipaksakan. Temannya menyahut, “Kayaknya sih umurnya 23
tahun.” Saya cuma merendah dan berkata, masak sih, padahal hati sudah berbunga-bunga.
Si Mas kembali menyambung. “Ah enggak. Saya tebak umurnya 38 tahun.” Apa! Heh,
kalau mau ngejatuhin orang jangan diangkat ke awang-awang dulu dong! Huh, nggak
bakalan deh saya kasih tahu berapa umur saya.
Sekarang memang jamannya Mbak dan Mas ramah berbasa-basi dan
bersikap sangat sopan. Tapi saya perhatikan, di sini mereka lebih bersikap terbuka
dan tidak terlalu merasa ada perbedaan status dibandingkan di kota-kota besar
lainnya. Mereka akan bertanya misalnya, apakah sedang liburan, apakah suka
dengan makanan yang dihidangkan, bahkan, hari ini cuacanya bagus ya? Seorang teman
saya terkesan sekali ketika kasir Circle-K menyalaminya dengan kata-kata “Happiness day!” Menurutnya itu pasti
bahasa Inggris a la Bali, walau aneh manis sekali kedengarannya. Tapi saya
curiga bahwa yang dimaksud adalah “Have a
nice day”, hanya saja v-nya diucapkan p.
Sekali waktu teman saya merasa keki sekali dengan petugas sebuah toko
roti. Dia memilih croissant yang
diucapkannya persis aslinya, krwa-song,
dengan suku kata terakhir yang sengau.
Prancis bangetlah. Si Mbak nggak ngerti. “Apa?” “Krwa-song,” jawab teman saya. “Apa?” “Krwa-song,” ulang teman saya. “Apa?” Karena darah sudah naik ke
kepala, teman saya judes menjawab, “Tuh, yang itu tuh!” Si Mbak menjawab
maklum, “Ooh… kro-i-saaaan” dengan nada berlagu seperti
bicara pada anak kecil. Tinggallah teman saya mengadu pada saya. “Yang bener
kan aku, tapi malah aku yang jadi kelihatan bego.” Hahaha. Emang nggak tahu ya
kalau semua yang berlebihan itu nggak baik. Tahu sesuatu itu baik, tapi kalau
sudah kebanyakan tahu ya gitu deh jadinya. :)
Saya juga pernah mendapat komentar maklum dari Mbak penjaga
toko seakan saya dari udik. Gara-garanya karena saya berkeras menanyakan baju
terusan berwarna biru tua. Si Mbak mengatakan bahwa mereka tidak punya, bahkan
baju berwarna biru tua tidak pernah mereka jual. Saya ngotot karena baru
beberapa hari yang lalu saya ke sana dan baju warna itu ada, hanya saja waktu
itu saya masih ragu membeli. Karena Mbak begitu yakin dan malahan sibuk
menawarkan baju-baju lain yang tidak saya suka, saya mulai memilihi sendiri
baju-baju yang ada. Akhirnya ketemu. Merasa menang, saya berkata puas, “Nah,
ini apa?” Jawaban yang saya peroleh adalah “Ooh… itu sih warna na-vyyyy.” Saking terpesona dengan
pembetulannya saya malah nggak bisa ngomong apa-apa (keluh).
Memang Mbak-Mbak dan Mas-Mas ini lucu-lucu walaupun suka
bikin jengkel juga kadang-kadang. Tapi saya mengagumi mereka, karena tahu
mereka harus bekerja keras dengan upah yang mungkin hanya sebatas UMR,
sedangkan pelanggan nggak selalu ramah. Yang sering terjadi, ketika saya keluar
toko sehabis melihat-lihat dan pura-pura tidak ada yang saya suka (padahal
harganya kemahalan buat saya :)),
mereka akan berkata terima kasih . Saya tahu benar bahwa mereka mengucapkannya
dengan tulus, bukan menyindir saya yang lupa mengucapkan kata itu.