Waktu di SD dulu saya harus les ngaji seminggu sekali di
rumah. Ini acara yang kami—tiga kakak beradik—paling nggak suka. Kalau
kira-kira guru ngajinya sudah waktunya datang, kami tunggu beliau dengan
mengintip dari celah-celah dinding garasi yang terbuat dari papan. Waktu beliau
ketok-ketok pintu, kami biarkan saja, malah cekikikan bertiga. Biasanya
pembantu kami jadi kesal. “Guru ngajinya datang kok nggak dibukain pintu.”
Sebelum acara dimulai biasanya kami berwudlu dulu. Ini kami jadikan
berlama-lama, sementara gurunya terpaksa bengong menunggu. Sebenarnya saya
bukan anak yang nakal, tapi susah juga untuk tidak ikutan kalau berada di bawah
pimpinan kakak saya yang memang bandel :)
Sudah wudlu, kami pura-pura sibuk
mencari batang lidi yang akan dipakai sebagai alat bantu ketika mengeja huruf
arab. Lidi yang masih ada pun dipatahkan supaya ada alasan untuk cari yang
baru.
Tapi saya tidak bermaksud menceritakan kebandelan anak-anak.
Yang ingin saya ceritakan adalah masalah gorden. Ruang tamu di mana kami
belajar ngaji tidak memiliki gorden.
Entah mengapa, padahal ketiga sisi ruang tamu itu dipenuhi jendela kaca yang
berkotak-kotak. Yang paling saya sebel, ketika kami semua shalat maghrib
berjamaah sehabis ngaji, tetangga kami di sebelah akan nontonin kami. Mereka
akan melambai-lambai, memberi bermacam isyarat sambil meleletkan lidah ketika
kami sedang dalam posisi tegak, karena kami shalat tepat menghadap jendela. Aduh
jengkelnya! Sampai sekarang, alasan kenapa ibu saya tidak memasang gorden tetap
menjadi misteri.
Cuma di rumah itulah ibu saya tidak memasang gorden. Sebelum
tinggal di rumah tersebut, juga di rumah-rumah selanjutnya, gorden selalu ada
dua lapis, yang tebal dan yang tipis alias vitrase. Ini sih biasa banget. Semua
rumah yang ‘baik’ juga begitu. Acara tetap setiap maghrib adalah menutup gorden
yang tebal karena vitrase biasanya terus tertutup sepanjang hari. Karena ini
sudah lumrah terjadi di hampir semua rumah tangga di Indonesia, teman-teman
se-kos saya dulu pernah pada protes karena induk semang tidak memasang gorden.
Kata ibu kos, gorden cuma memudahkan mahasiswa pacaran di dalam rumah. Pinter
juga nih si ibu kos. Saya mendukungnya, bukan karena menyetujui ibu kos, tapi
karena tanpa gorden tempat kos saya itu jadi adem. Apalagi, pintunya pun cuma
terbuat dari kawat kasa, kusennya saja yang dari kayu. Udara bebas keluar
masuk! Cocok banget untuk daerah tropis yang panas.
Tapi pendirian saya akhirnya berubah juga. Gara-garanya,
pada suatu malam kira-kira jam dua telepon berdering. Ini pasti untuk Si X yang
di lantai atas itu! Pacarnya memang sering sekali menelepon malam-malam. Dengan
sigap dan geram saya segera keluar kamar, menyambar telepon yang ada di ruang
tamu. Maksudnya mau nyemprot tuh orang, berani-beraninya membangunkan orang di
tengah malam untuk urusan ‘hai, udah tidur belum, Sayang? Aku kangen loh’.
Nggak penting banget! Apa yang terjadi kemudian tidak perlu saya ceritakan di
sini, bisa-bisa akan menambah kecenderungan orang terhadap takhyul (kayak acara
setan-setanan di TV dan bioskop belum cukup saja). Pokoknya saya ketakutan
setengah mati, nggak bisa ngomong, badan merinding dan dingin banget. Saya
segera menatap keluar melalui kaca yang tidak bergorden. Kenapa? Saya takut
orang yang sedang bicara di telepon itu sedang ada di luar dan mengawasi saya.
Kayak di film Scream! Sejak kejadian itu
saya mendukung teman-teman lainnya. Beri kami gorden! Kami menuntut! Mungkin
alasan saya sedikit berbeda, bukan untuk mencegah orang mengintip ke dalam,
tapi mencegah diri saya memandang ke luar. Hiii ….
Sedari kecil saya sering merasa aneh dengan kebiasaan orang
Barat yang suka tidur dengan gorden dan jendela terbuka di malam hari, biasanya
pada musim panas. Ini tahunya dari buku-buku terjemahan, lho. Ini juga menjadi
kebiasaan di daerah tempat tinggal saya sekarang, yang memang tempat turis asing
menyewa rumah. Saya hitung ada sembilan vila yang mengelilingi sebidang sawah
di sini, termasuk rumah saya. Di siang hari gorden dan tirai bambunya semua
terbuka lebar. Saya bisa melihat mereka sedang sarapan, membaca, atau sekadar
mondar-mandir. Saya pun terpengaruh. Kalau siang gorden dan pintu dibuka
lebar-lebar dan tidak ada vitrase. Malam baru ditutup, itu pun jendela kamar tidur
dibuka sedikit. Enak lho, adem.
Rumah saya belakang-belakangan sama sebuah vila bertingkat
tiga dengan sepetak sawah di antaranya. Karena di siang hari gorden kami
sama-sama terpentang lebar, kami bisa lihat-lihatan kalau mau. Dia di teras,
saya di atas tempat tidur. ‘Dia’ ini seorang bapak-bapak berusia kira-kira
50-60 tahun, entah dari negara mana. Dia sudah tinggal di sini hampir dua
bulan. Kebiasaannya kalau pagi, ngatur-ngatur ikatan tempat tidur gantungnya,
kemudian duduk-duduk santai sambil baca buku, berjalan keluar-masuk, santai
sekali gayanya. Semua itu dilakukannya dalam keadaan… telanjang bulat! Huahaha!
Saya shock waktu pertama kali lihat
dia. Lama-lama ya biasa. Eh tadi pagi, waktu saya memandang ke luar, ya ampun,
mereka sekarang berdua! Temannya sama-sama bapak-bapak, sama-sama telanjang.
Cepat-cepat saya ngacir ke lantai bawah!
Terlepas dari cerita saya yang terakhir, saya kok merasa bahwa
kita sebaiknya membolehkan saja orang melihat isi rumah kita dari luar. Kalau orang
sudah tidak berniat mengintip dengan penuh rasa ingin tahu, apa sih yang kita
tutupi. Kalau rumah kita dipasangi vitrase, itu kan artinya kita bisa mengintip
diam-diam orang di luar tanpa ketahuan. Jadi, sebenarnya siapa yang hobi
ngintip? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar