Jumat, 06 Januari 2012

Tentang Gorden


Waktu di SD dulu saya harus les ngaji seminggu sekali di rumah. Ini acara yang kami—tiga kakak beradik—paling nggak suka. Kalau kira-kira guru ngajinya sudah waktunya datang, kami tunggu beliau dengan mengintip dari celah-celah dinding garasi yang terbuat dari papan. Waktu beliau ketok-ketok pintu, kami biarkan saja, malah cekikikan bertiga. Biasanya pembantu kami jadi kesal. “Guru ngajinya datang kok nggak dibukain pintu.” Sebelum acara dimulai biasanya kami berwudlu dulu. Ini kami jadikan berlama-lama, sementara gurunya terpaksa bengong menunggu. Sebenarnya saya bukan anak yang nakal, tapi susah juga untuk tidak ikutan kalau berada di bawah pimpinan kakak saya yang memang bandel :)  Sudah wudlu, kami pura-pura sibuk mencari batang lidi yang akan dipakai sebagai alat bantu ketika mengeja huruf arab. Lidi yang masih ada pun dipatahkan supaya ada alasan untuk cari yang baru.

Tapi saya tidak bermaksud menceritakan kebandelan anak-anak. Yang ingin saya ceritakan adalah masalah gorden. Ruang tamu di mana kami belajar ngaji  tidak memiliki gorden. Entah mengapa, padahal ketiga sisi ruang tamu itu dipenuhi jendela kaca yang berkotak-kotak. Yang paling saya sebel, ketika kami semua shalat maghrib berjamaah sehabis ngaji, tetangga kami di sebelah akan nontonin kami. Mereka akan melambai-lambai, memberi bermacam isyarat sambil meleletkan lidah ketika kami sedang dalam posisi tegak, karena kami shalat tepat menghadap jendela. Aduh jengkelnya! Sampai sekarang, alasan kenapa ibu saya tidak memasang gorden tetap menjadi misteri.

Cuma di rumah itulah ibu saya tidak memasang gorden. Sebelum tinggal di rumah tersebut, juga di rumah-rumah selanjutnya, gorden selalu ada dua lapis, yang tebal dan yang tipis alias vitrase. Ini sih biasa banget. Semua rumah yang ‘baik’ juga begitu. Acara tetap setiap maghrib adalah menutup gorden yang tebal karena vitrase biasanya terus tertutup sepanjang hari. Karena ini sudah lumrah terjadi di hampir semua rumah tangga di Indonesia, teman-teman se-kos saya dulu pernah pada protes karena induk semang tidak memasang gorden. Kata ibu kos, gorden cuma memudahkan mahasiswa pacaran di dalam rumah. Pinter juga nih si ibu kos. Saya mendukungnya, bukan karena menyetujui ibu kos, tapi karena tanpa gorden tempat kos saya itu jadi adem. Apalagi, pintunya pun cuma terbuat dari kawat kasa, kusennya saja yang dari kayu. Udara bebas keluar masuk! Cocok banget untuk daerah tropis yang panas.

Tapi pendirian saya akhirnya berubah juga. Gara-garanya, pada suatu malam kira-kira jam dua telepon berdering. Ini pasti untuk Si X yang di lantai atas itu! Pacarnya memang sering sekali menelepon malam-malam. Dengan sigap dan geram saya segera keluar kamar, menyambar telepon yang ada di ruang tamu. Maksudnya mau nyemprot tuh orang, berani-beraninya membangunkan orang di tengah malam untuk urusan ‘hai, udah tidur belum, Sayang? Aku kangen loh’. Nggak penting banget! Apa yang terjadi kemudian tidak perlu saya ceritakan di sini, bisa-bisa akan menambah kecenderungan orang terhadap takhyul (kayak acara setan-setanan di TV dan bioskop belum cukup saja). Pokoknya saya ketakutan setengah mati, nggak bisa ngomong, badan merinding dan dingin banget. Saya segera menatap keluar melalui kaca yang tidak bergorden. Kenapa? Saya takut orang yang sedang bicara di telepon itu sedang ada di luar dan mengawasi saya. Kayak di film Scream! Sejak kejadian itu saya mendukung teman-teman lainnya. Beri kami gorden! Kami menuntut! Mungkin alasan saya sedikit berbeda, bukan untuk mencegah orang mengintip ke dalam, tapi mencegah diri saya memandang ke luar. Hiii ….

Sedari kecil saya sering merasa aneh dengan kebiasaan orang Barat yang suka tidur dengan gorden dan jendela terbuka di malam hari, biasanya pada musim panas. Ini tahunya dari buku-buku terjemahan, lho. Ini juga menjadi kebiasaan di daerah tempat tinggal saya sekarang, yang memang tempat turis asing menyewa rumah. Saya hitung ada sembilan vila yang mengelilingi sebidang sawah di sini, termasuk rumah saya. Di siang hari gorden dan tirai bambunya semua terbuka lebar. Saya bisa melihat mereka sedang sarapan, membaca, atau sekadar mondar-mandir. Saya pun terpengaruh. Kalau siang gorden dan pintu dibuka lebar-lebar dan tidak ada vitrase. Malam baru ditutup, itu pun jendela kamar tidur dibuka sedikit. Enak lho, adem.

Rumah saya belakang-belakangan sama sebuah vila bertingkat tiga dengan sepetak sawah di antaranya. Karena di siang hari gorden kami sama-sama terpentang lebar, kami bisa lihat-lihatan kalau mau. Dia di teras, saya di atas tempat tidur. ‘Dia’ ini seorang bapak-bapak berusia kira-kira 50-60 tahun, entah dari negara mana. Dia sudah tinggal di sini hampir dua bulan. Kebiasaannya kalau pagi, ngatur-ngatur ikatan tempat tidur gantungnya, kemudian duduk-duduk santai sambil baca buku, berjalan keluar-masuk, santai sekali gayanya. Semua itu dilakukannya dalam keadaan… telanjang bulat! Huahaha! Saya shock waktu pertama kali lihat dia. Lama-lama ya biasa. Eh tadi pagi, waktu saya memandang ke luar, ya ampun, mereka sekarang berdua! Temannya sama-sama bapak-bapak, sama-sama telanjang. Cepat-cepat saya ngacir ke lantai bawah!

Terlepas dari cerita saya yang terakhir, saya kok merasa bahwa kita sebaiknya membolehkan saja orang melihat isi rumah kita dari luar. Kalau orang sudah tidak berniat mengintip dengan penuh rasa ingin tahu, apa sih yang kita tutupi. Kalau rumah kita dipasangi vitrase, itu kan artinya kita bisa mengintip diam-diam orang di luar tanpa ketahuan. Jadi, sebenarnya siapa yang hobi ngintip? :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar