Kamis, 19 Januari 2012

Mbak-Mbak dan Mas-Mas


Yang saya maksud dengan Mbak dan Mas di sini adalah para pekerja yang melayani kita di toko, restoran, hotel dan tempat sejenis lainnya. Ketika sedang diantar menuju sebuah meja di restoran, Mbak bertanya pada saya, “Ini suaminya?” Ih, apaan sih, mau tahu aja. Walaupun dongkol saya menjawab dengan suara semanis madu, “Ini suami saya yang keempat. Sebelumnya suami saya orang Turki, sebelum itu orang Rusia, sebelum itu lagi orang Armenia.” Saya harapkan si Mbak ini bakalan melotot kaget, tapi dia cuma menjawab kalem, “Oh begitu,” sambil senyum-senyum simpul. Sialan!

Lain lagi ceritanya ketika saya sedang berada di sebuah kafe. Setelah ngobrol sedikit dan jadi agak akrab, si Mas bertanya berapa umur saya. Saya cuma tertawa dipaksakan. Temannya menyahut, “Kayaknya sih umurnya 23 tahun.” Saya cuma merendah dan berkata, masak sih, padahal hati sudah berbunga-bunga. Si Mas kembali menyambung. “Ah enggak. Saya tebak umurnya 38 tahun.” Apa! Heh, kalau mau ngejatuhin orang jangan diangkat ke awang-awang dulu dong! Huh, nggak bakalan deh saya kasih tahu berapa umur saya.

Sekarang memang jamannya Mbak dan Mas ramah berbasa-basi dan bersikap sangat sopan. Tapi saya perhatikan, di sini mereka lebih bersikap terbuka dan tidak terlalu merasa ada perbedaan status dibandingkan di kota-kota besar lainnya. Mereka akan bertanya misalnya, apakah sedang liburan, apakah suka dengan makanan yang dihidangkan, bahkan, hari ini cuacanya bagus ya? Seorang teman saya terkesan sekali ketika kasir Circle-K menyalaminya dengan kata-kata “Happiness day!” Menurutnya itu pasti bahasa Inggris a la Bali, walau aneh manis sekali kedengarannya. Tapi saya curiga bahwa yang dimaksud adalah “Have a nice day”, hanya saja v-nya diucapkan p.

Sekali waktu teman saya  merasa keki sekali dengan petugas sebuah toko roti. Dia memilih croissant yang diucapkannya persis aslinya, krwa-song, dengan suku kata terakhir yang sengau.  Prancis bangetlah. Si Mbak nggak ngerti. “Apa?” “Krwa-song,” jawab teman saya. “Apa?” “Krwa-song,” ulang teman saya. “Apa?” Karena darah sudah naik ke kepala, teman saya judes menjawab, “Tuh, yang itu tuh!” Si Mbak menjawab maklum, “Ooh… kro-i-saaaan” dengan nada berlagu seperti bicara pada anak kecil. Tinggallah teman saya mengadu pada saya. “Yang bener kan aku, tapi malah aku yang jadi kelihatan bego.” Hahaha. Emang nggak tahu ya kalau semua yang berlebihan itu nggak baik. Tahu sesuatu itu baik, tapi kalau sudah kebanyakan tahu ya gitu deh jadinya. :)

Saya juga pernah mendapat komentar maklum dari Mbak penjaga toko seakan saya dari udik. Gara-garanya karena saya berkeras menanyakan baju terusan berwarna biru tua. Si Mbak mengatakan bahwa mereka tidak punya, bahkan baju berwarna biru tua tidak pernah mereka jual. Saya ngotot karena baru beberapa hari yang lalu saya ke sana dan baju warna itu ada, hanya saja waktu itu saya masih ragu membeli. Karena Mbak begitu yakin dan malahan sibuk menawarkan baju-baju lain yang tidak saya suka, saya mulai memilihi sendiri baju-baju yang ada. Akhirnya ketemu. Merasa menang, saya berkata puas, “Nah, ini apa?” Jawaban yang saya peroleh adalah “Ooh… itu sih warna na-vyyyy.” Saking terpesona dengan pembetulannya saya malah nggak bisa ngomong apa-apa (keluh).

Memang Mbak-Mbak dan Mas-Mas ini lucu-lucu walaupun suka bikin jengkel juga kadang-kadang. Tapi saya mengagumi mereka, karena tahu mereka harus bekerja keras dengan upah yang mungkin hanya sebatas UMR, sedangkan pelanggan nggak selalu ramah. Yang sering terjadi, ketika saya keluar toko sehabis melihat-lihat dan pura-pura tidak ada yang saya suka (padahal harganya kemahalan buat saya :)), mereka akan berkata terima kasih . Saya tahu benar bahwa mereka mengucapkannya dengan tulus, bukan menyindir saya yang lupa mengucapkan kata itu.

2 komentar:

  1. Aduh, aduh, aduh! Saya ngakak baca tulisan ini:)
    Begitu kerjaan selesai, saya langsung buka blog ini dan menelusuri tiap postinganx. Suka sangat:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Erik. Mudah2an bisa terus ngeblog hehehe

      Hapus