Rabu, 01 Februari 2012

Galungan


Beberapa hari sebelum Hari Raya Galungan tiba suasana sibuk mulai terasa. Kadek dan Lia menyiapkan wadah janur kecil-kecil yang diisi dengan bunga-bungaan dan irisan halus daun pandan. Rumah sebelah sering kosong, mereka pergi ke desa dan baru pulang sore-sore. Mungkin membuat persiapan untuk hari yang istimewa di rumah keluarga besar. Saya tidak tahu dengan pasti kegiatan yang terjadi di dalam rumah-rumah untuk peristiwa besar ini. Mungkin selain menyiapkan sesajen juga ada kesibukan masak-masak seperti yang terjadi di keluarga saya menjelang Lebaran.

Sesajen berlatar belakang penjor
 Kalau para perempuan sibuk di dalam rumah, laki-laki punya tugas lain, yaitu mendirikan penjor. Penjor itu bambu utuh serta panjang yang melengkung ujungnya dan diberi hiasan. Penjor dipasang di depan rumah. Penjor tetangga saya sederhana saja, saya rasa termasuk yang tipe tradisional. Di bagian bawah dipasangi janur yang agak berantakan dan mencuat ke segala arah. Tanaman hias yang nggak terlalu bagus dan banyak tumbuh di pinggir jalan ditebas, dan diikatkan di sana. Saya tadinya pingin ketawa melihatnya, kok nggak niat sih menghiasnya. Asal ambil apa yang ada. Tapi waktu melihat penjor-penjor lain dihiasi daun yang sama tahulah saya kalau memang seperti itu hiasan penjor. Kemudian ujung bambu dipasangi hiasan yang berbentuk seperti lampion. Lampion ini tidak dibuat oleh Kadek sendiri, tapi dibeli jadi. Yang nggak ketinggalan adalah untaian gabah yang diikatkan dari bawah sampai ke atas dalam jarak tertentu. Artistik juga.

Walaupun nggak diajak menghias penjor, saya bisa merasakan keasyikan melakukannya. Mungkin sama asyiknya seperti menghias pohon natal. Intan ikut-ikutan menghias, dan Nyoman membiarkannya merasa sudah membantu. Sehari sebelum Galungan Kadek mengirimi saya sepiring nasi dengan taburan bawang goreng, lawar kacang panjang, dan gulai bebek yang enak sekali. Ini meyakinkan saya bahwa Galungan itu juga hari untuk makan-makan enak, persis Lebaran. Sekarang aja masakannya sudah enak, apalagi hari H-nya (ngekhayal).

Gembira berparade
Tepat di hari Galungan saya sudah punya rencana sendiri, yaitu   jalan-jalan  untuk melihat suasana hari Galungan. Semua perempuan yang saya lihat di jalan mengenakan kebaya dan berselendang, laki-lakinya bersarung, kemeja putih, dan ikat kepala. Pura-pura dipenuhi umat. Semua orang kelihatan gembira, terutama anak-anak. Ya dong, kan libur seminggu. Sudah capek jalan saya mampir di warung yang untungnya nggak tutup. Pemiliknya mengajak saya menikmati hidangan istimewa hari itu. Ngajaknya beneran lho, bukan basa-basi. Tapi saya terpaksa menolak. Masak cuma beli segelas kopi susu dan permen coklat dibalas dengan makan-makan enak lengkap dengan lauk-pauknya? Malu doong.

Di sekitar Gunung Kawi saya melihat iring-iringan. Pesertanya semua laki-laki, berbaju putih dan bersarung kotak-kotak hitam-putih. Paling depan berjalan seorang/seekor/sebuah (?) barong, kemudian diikuti dengan mereka yang memainkan macam-macam alat musik termasuk gong. Yang nggak bisa menari dan berakting sebagai barong atau memainkan alat musik ditaruh di bagian belakang saja, tempat orang-orang tidak berbakat. Tugasnya cuma jalan mengikuti ke mana pun barong menuju. Lho, perempuannya mana ya? Ternyata mereka semua duduk bersimpuh di pinggir jalan, menghadap sesajen yang ditaruh di atas meja kecil. Tadinya saya kira mereka sedang jualan, habis di sebelah sesajen disediakan bergelas-gelas minuman kemasan dalam baskom. Pasti itu untuk memberi minum para lelaki yang capek sehabis berparade. Begitu iring-iringan lewat, mereka segera beres-beres. Sesajen kembali diletakkan di tempat semula, dan minuman dibawa masuk ke rumah.

Barong versi anak-anak
Saya terus jalan sampai ke Kintamani. Sesudah makan siang kembali lagi ke Ubud. Sampai di Ubud hari sudah sore dan toko-toko sudah buka lagi. Ternyata di hari besar pun bisnis jalan teruus. Padahal karena waktu lewat paginya suasananya sangat sepi, saya kira mereka bakalan libur sehari penuh. Yang membedakan dengan hari-hari biasa adalah deretan penjor sepanjang jalan, juga tukang taksi dan pemandu wisata yang semuanya bersarung dan memakai ikat kepala. Beberapa kelompok anak kecil keliling-keliling kota dengan memainkan alat musik seadanya dan jadi barong-barongan. Mereka bersedia berhenti sejenak dan beraksi di depan turis asalkan dibayar. Lumayan, rejeki setahun sekali :).

Selesailah hari Galungan saya. Saya terkesan sekali. Tapi saya sedikit kecewa, karena sorenya Kadek hanya mengirimi saya buah-buahan dan kue. Mana masakannya? Hehehe. Kadek tahu saya tidak makan babi, jadi hidangan istimewa hari itu tidak diantarkan untuk saya. Mau makan enak? Tunggu Lebaran aja deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar