Dibandingkan dengan kakak dan adik saya, saya yang paling
hitam kulitnya. Sejak kecil citra sebagai “kurus, kecil, hitam” sudah melekat
pada saya. Untunglah ketika sudah dewasa saya jadi putihan sedikit. Tapi sampai
sekarang pun masalahnya adalah, kalau sudah terlanjur gosong sedikit saja akan
susah balik lagi ke warna asal. Kalau habis pulang berlibur dari Bali misalnya,
karena rajin ke mana-mana pakai motor, diperlukan waktu berbulan-bulan lamanya
untuk memulihkannya. Selama di kaki masih terlihat pola garis-garis lebih
terang tempat kulit yang terlindungi oleh sandal jepit sementara area
selebihnya lebih gelap, saya tidak akan panas-panasan dulu. Kalau luluran juga
minta si Mbak menggosok keras-keras. Hehehe.
Namun saya tidak berupaya mati-matian untuk melindungi kulit
saya. Di sini orang lebih memilih motor daripada mobil, kecuali kadang-kadang
saja kalau perlu sekali. Jadi, kalau saya mesti keluar siang-siang pake motor,
ya pergi saja. Kan cuma sekali-sekali. Cukup pake krim muka ber-SPF. Rok atau
celana pendek dan blus tanpa lengan juga nggak masalah. Ngapain harus ganti
celana panjang dari bahan jeans yang
berat dan pakai kardigan? Panas atuh.
Kulit belang nggak perlu jadi masalah serius seperti dalam iklan pemutih di TV.
Kulit lengan dan kaki dari lutut ke bawah warnanya gelap, ya santai saja. Kan
setiap mandi bisa lihat kulit badan yang kuning langsat (ehem) dan berkata pada
diri sendiri, “Ini nih warna asli kulitku.”
Saya geli sendiri ketika seorang kenalan baru saya dari
Sulawesi muncul dengan kostum seakan mau pergi ke Lembang di malam hari. Celana
panjang jeans, sepatu model tertutup
lengkap dengan kaos kaki, topi dan jaket kulit imitasi. Itu pun masih
dilengkapi dengan syal. Wauw, lengkap banget! Kami berencana akan pergi ke
Tanah Lot naik motor. Saya nggak kebayang gimana rasanya disekap oleh semua
tetek-bengek itu, tiupan angin di badan pasti nggak akan terasa sama
sekali. Seperti di oven barangkali. Dan
menurut pengalaman saya, orang yang kulitnya terang dan kalau sedikit gosong
pun akan cepat kembali ke asal malah lebih takut jadi hitam. Yah, wajar
sajalah. Jangan sirik dong. Kulit terang itulah yang masih punya harapan untuk
bisa dibanggakan. Kalau aslinya coklat seperti saya, mau usaha apa pun atau
luluran setiap minggu juga nggak bakal jadi putih kinclong. Ngapain banyak
usaha untuk sesuatu yang sia-sia? :(
Seorang teman saya jadi gelagapan di Facebook ketika
diserang beberapa orang bahwa perusahaan tempatnya bekerja menyesatkan banyak
perempuan Indonesia. Perusahaan yang memroduksi krim pemutih wajah yang
terkenal itu memberi gambaran bahwa hanya perempuan berkulit teranglah yang
bisa disebut cantik. Dalam iklannya perempuan kehilangan cinta, dikalahkan
perempuan lain yang lebih putih. Ketika pecundang ini memakai krim yang memutihkan
wajahnya, baru sang arjuna berkenan menolehkan wajah tampannya. Akhirnya mereka
hidup bahagia untuk selama-lamanya. Iklan bodoh yang mengajak orang jadi bodoh,
menurut saya. Tapi saya jatuh simpati juga pada teman saya itu, yang terpaksa
berdiplomasi tingkat tinggi dan akhirnya mengaku, “Wah gua gemeteran nih,
jawabnya musti ati-ati banget.” Hehehe.
Kalau keinginan untuk berkulit putih itu dibilang karena
ingin mirip bule, semua orang pasti membantah. Tapi menurut para ahli sih ini
jauh tertanam di bawah sadar orang-orang. Kalau saja bangsa
superior-kaya-makmur adalah bangsa-bangsa Afrika kulit hitam misalnya, tentu
keinginan untuk berkulit putih ini tidak akan terlalu menggebu. Miris juga
lihat di internet seorang anak perempuan umur tiga tahun keturunan India
berkulit coklat selalu menunjuk perempuan kulit putih sebagai “cantik”. Yang
berkulit gelap, biarpun model terkenal yang muncul di sampul majalah semuanya
dibilang “nggak cantik.” Jepang saja, yang sudah makmur dan disegani dunia
masih bermimpi punya mata seperti orang bule yang segede bola pingpong. Lihat
saja film-film kartunnya.
Tapi kebalikannya (?) juga pasti ada. Kemarin malam di rumah
makan Padang saya melihat sepasang bule dengan seorang perempuan Indonesia yang
kulitnya gelap sekali. Kalau lihat dari tampangnya sih bukan berasal dari
daerah Indonesia timur, jadi itu pasti hasil dari rajin berjemur di bawah sinar
matahari sambil berbikini. Perempuan ini berbicara keras-keras, ketawa ngakak
menarik perhatian. Ketika menghembuskan asap rokok mukanya menengadah dan
meniup keras-keras dengan gaya tidak peduli. Hm, tahu deh saya perempuan tipe
seperti ini. Tingkahnya dibuat-buat, seakan-akan mau bilang, “Lihatlah saya,
saya ini perempuan modern, bukan perempuan Indonesia kebanyakan. Kalau mereka jaga
perilaku, saya bebas merokok. Mereka ingin putih, saya sengaja menghitamkan
diri. Saya lebih mirip bule, bule kan suka berjemur.” Hehehe. Merokok
boleh-boleh saja, nggak takut matahari itu bagus. Tapi kalau sikapnya serba
palsu begitu, malah bikin orang pingin ketawa deh.
saya lebih suka yang apa adanya deh :)
BalasHapus