Senin, 13 Februari 2012

Mirip Bule


Dibandingkan dengan kakak dan adik saya, saya yang paling hitam kulitnya. Sejak kecil citra sebagai “kurus, kecil, hitam” sudah melekat pada saya. Untunglah ketika sudah dewasa saya jadi putihan sedikit. Tapi sampai sekarang pun masalahnya adalah, kalau sudah terlanjur gosong sedikit saja akan susah balik lagi ke warna asal. Kalau habis pulang berlibur dari Bali misalnya, karena rajin ke mana-mana pakai motor, diperlukan waktu berbulan-bulan lamanya untuk memulihkannya. Selama di kaki masih terlihat pola garis-garis lebih terang tempat kulit yang terlindungi oleh sandal jepit sementara area selebihnya lebih gelap, saya tidak akan panas-panasan dulu. Kalau luluran juga minta si Mbak menggosok keras-keras. Hehehe.

Namun saya tidak berupaya mati-matian untuk melindungi kulit saya. Di sini orang lebih memilih motor daripada mobil, kecuali kadang-kadang saja kalau perlu sekali. Jadi, kalau saya mesti keluar siang-siang pake motor, ya pergi saja. Kan cuma sekali-sekali. Cukup pake krim muka ber-SPF. Rok atau celana pendek dan blus tanpa lengan juga nggak masalah. Ngapain harus ganti celana panjang dari bahan jeans yang berat dan pakai kardigan? Panas atuh. Kulit belang nggak perlu jadi masalah serius seperti dalam iklan pemutih di TV. Kulit lengan dan kaki dari lutut ke bawah warnanya gelap, ya santai saja. Kan setiap mandi bisa lihat kulit badan yang kuning langsat (ehem) dan berkata pada diri sendiri, “Ini nih warna asli kulitku.”

Saya geli sendiri ketika seorang kenalan baru saya dari Sulawesi muncul dengan kostum seakan mau pergi ke Lembang di malam hari. Celana panjang jeans, sepatu model tertutup lengkap dengan kaos kaki, topi dan jaket kulit imitasi. Itu pun masih dilengkapi dengan syal. Wauw, lengkap banget! Kami berencana akan pergi ke Tanah Lot naik motor. Saya nggak kebayang gimana rasanya disekap oleh semua tetek-bengek itu, tiupan angin di badan pasti nggak akan terasa sama sekali.  Seperti di oven barangkali. Dan menurut pengalaman saya, orang yang kulitnya terang dan kalau sedikit gosong pun akan cepat kembali ke asal malah lebih takut jadi hitam. Yah, wajar sajalah. Jangan sirik dong. Kulit terang itulah yang masih punya harapan untuk bisa dibanggakan. Kalau aslinya coklat seperti saya, mau usaha apa pun atau luluran setiap minggu juga nggak bakal jadi putih kinclong. Ngapain banyak usaha untuk sesuatu yang sia-sia? :(

Seorang teman saya jadi gelagapan di Facebook ketika diserang beberapa orang bahwa perusahaan tempatnya bekerja menyesatkan banyak perempuan Indonesia. Perusahaan yang memroduksi krim pemutih wajah yang terkenal itu memberi gambaran bahwa hanya perempuan berkulit teranglah yang bisa disebut cantik. Dalam iklannya perempuan kehilangan cinta, dikalahkan perempuan lain yang lebih putih. Ketika pecundang ini memakai krim yang memutihkan wajahnya, baru sang arjuna berkenan menolehkan wajah tampannya. Akhirnya mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya. Iklan bodoh yang mengajak orang jadi bodoh, menurut saya. Tapi saya jatuh simpati juga pada teman saya itu, yang terpaksa berdiplomasi tingkat tinggi dan akhirnya mengaku, “Wah gua gemeteran nih, jawabnya musti ati-ati banget.” Hehehe.

Kalau keinginan untuk berkulit putih itu dibilang karena ingin mirip bule, semua orang pasti membantah. Tapi menurut para ahli sih ini jauh tertanam di bawah sadar orang-orang. Kalau saja bangsa superior-kaya-makmur adalah bangsa-bangsa Afrika kulit hitam misalnya, tentu keinginan untuk berkulit putih ini tidak akan terlalu menggebu. Miris juga lihat di internet seorang anak perempuan umur tiga tahun keturunan India berkulit coklat selalu menunjuk perempuan kulit putih sebagai “cantik”. Yang berkulit gelap, biarpun model terkenal yang muncul di sampul majalah semuanya dibilang “nggak cantik.” Jepang saja, yang sudah makmur dan disegani dunia masih bermimpi punya mata seperti orang bule yang segede bola pingpong. Lihat saja film-film kartunnya.

Tapi kebalikannya (?) juga pasti ada. Kemarin malam di rumah makan Padang saya melihat sepasang bule dengan seorang perempuan Indonesia yang kulitnya gelap sekali. Kalau lihat dari tampangnya sih bukan berasal dari daerah Indonesia timur, jadi itu pasti hasil dari rajin berjemur di bawah sinar matahari sambil berbikini. Perempuan ini berbicara keras-keras, ketawa ngakak menarik perhatian. Ketika menghembuskan asap rokok mukanya menengadah dan meniup keras-keras dengan gaya tidak peduli. Hm, tahu deh saya perempuan tipe seperti ini. Tingkahnya dibuat-buat, seakan-akan mau bilang, “Lihatlah saya, saya ini perempuan modern, bukan perempuan Indonesia kebanyakan. Kalau mereka jaga perilaku, saya bebas merokok. Mereka ingin putih, saya sengaja menghitamkan diri. Saya lebih mirip bule, bule kan suka berjemur.” Hehehe. Merokok boleh-boleh saja, nggak takut matahari itu bagus. Tapi kalau sikapnya serba palsu begitu, malah bikin orang pingin ketawa deh.

1 komentar: