Di pagi hari, sambil sarapan di meja dapur saya suka
mengawasi Kadek, tetangga saya, dari pintu yang sedikit terbuka. Setiap pagi
Kadek dalam sarung dan kebayanya meletakkan sesajen dan melakukan upacara
di tempat khusus yang ada di halaman rumah. Saya suka sekali dengan gerakan
tangannya yang seperti orang menari. Dengan sekuntum bunga kamboja dijepit di
antara jari, dia melambaikan tangannya. Dia juga memercikkan air dan membakar
dupa. Setelah selesai melakukan ini, Kadek akan mengitari rumah saya untuk
melakukan hal yang sama di teras. Tempat sesajen yang saya miliki ini jauh lebih kecil,
hanya ditempelkan di tembok di suatu ketinggian.
Upacara semacam ini dilakukan oleh perempuan Bali di seluruh
penjuru Pulau Dewata. Kita bisa menemukan sesajen di mana-mana, karena selain
di rumah dan tempat usaha, orang Bali juga akan meletakkan sesajen di jembatan,
di pinggir jalan, termasuk juga di semua kendaraan baik mobil maupun sepeda
motor. Kalau sesajen harian itu ukurannya kecil, maka sesajen untuk upacara di
hari-hari istimewa ukurannya lebih besar dan rumit. Kadang-kadang saya
mendapati jalan yang penuh rontokan kelopak bunga serta potongan janur di
tempat upacara agama baru diselenggarakan. Inilah yang dinamakan dengan sampah
yang enak dipandang mata. Memang orang Bali dekat hubungannya dengan sesajen.
Konon, kata ‘Bali’ sendiri berasal dari kata ‘bebali’ yang artinya sesajen.
sesajen di pinggir jalan |
Anehnya, walaupun saya mengapresiasi kepercayaan orang Bali,
saya tidak bisa menghargai cerita-cerita hantu atau makhluk halus yang serba
berlebihan. Seorang teman kantor saya dulu hobi sekali bercerita tentang hantu.
Setiap kali bercerita dia akan bersikap seolah-olah dia sendiri yang
mengalaminya, bahkan tak segan-segan mengatakan bahwa dia melihat hantu dengan
mata kepalanya sendiri. Tak lupa dia memberikan berbagai tips melawan hantu, di
antaranya jangan lupa mengikat rambut yang panjang sebelum tidur, karena kalau
tidak, hantu akan menganggap kita sebagai teman sebangsanya. Karena frekuensi
ceritanya yang sangat tinggi, saya merasa terganggu sekali jadinya.
Beberapa waktu yang lalu saya menghabiskan beberapa hari di
sebuah vihara di Singaraja. Pada suatu malam, seorang peserta dari negara asing
tidak muncul ketika waktu tidur tiba. Tadinya teman sekamarnya akan melapor,
namun kira-kira pada jam tiga subuh orang yang hilang ini, seorang gadis yang
masih muda, tiba-tiba muncul tidak kurang suatu apa. Waktu ditanya dia
bercerita bahwa dia tidur di balai-balai yang terletak di kebun buah vihara.
Padahal, kebun buah ini penuh dengan pohon-pohon besar, semak-semak, udaranya
lembab dan selalu sedikit gelap bahkan di siang hari. Di siang hari tempat ini
memang sering dipilih karena peserta yang malas atau capek meditasi bisa
istirahat tidur siang. Tapi di malam hari? Apa tidak takut hantu? Kami semua
takjub, namun saya rasa enak juga kalau sedari kecil kita tidak pernah
ditakut-takuti soal hantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar