Cerita reuni saya kali ini tidak lagi ada sinisme atau
sarkasmenya, hehehe. Mari kita datang ke reuni dengan hati gembira dan senang. Jadi
begitulah, setelah saling tunggu dengan menjadikan kemacetan sebagai kambing
hitam, kami bertiga datang bersama-sama ke tempat reuni dengan sedikit
terlambat. Oya, ini adalah reuni angkatan, jadi kalau semuanya hadir maka akan ada
11 kelas. Dari kelas saya yang hadir 19 orang. Cukup lumayanlah.
Kami disambut penerima tamu yang berpakaian putih abu-abu.
Tadinya saya kira mereka adalah adik kelas yang sudah dipisahkan oleh
tahun-tahun yang lama sekali. Kalau begitu sih sebutannya bukan ‘adik’ lagi ya,
tapi ‘keponakan’ dan kami-kami ini adalah ‘tante’ dan ‘oom’ buat mereka. Dari
dekat baru kelihatan bahwa roknya pendek sekali, hanya setengah paha. Mereka
cantik-cantik dan berdandan lengkap dengan maskara, lipstik dan perona mata
serta pipi. Rambut panjang terurai. Tahulah saya bahwa mereka di sana sedang
bekerja, bukan mencari inspirasi dari kami-kami kakak kelasnya yang sudah
berhasil jadi orang ini, hihihi. Boleh juga idenya, penerima tamu didandani
seperti anak sekolahan. Asal saja nama sekolah saya tidak tertempel di baju
‘seragam’ dan kemudian mereka
berkeliaran keliling kota naik angkot!
Teman saya Sussy sebelum masuk gedung agak senewen. Sadar
dirinya pelupa, dia minta saya menyebutkan nama-nama teman kami sekelas. Tapi
rupanya dia tidak perlu kuatir. Kami diberi pin lengkap dengan nama
masing-masing. Tak lama kemudian saya melihatnya di seberang ruangan sedang
ngobrol bersama Yanti. Sussy senang karena dia ingat nama dan wajah Yanti, tapi
lupa, kapan mereka pernah sekelas? Setelah memberi tahu Sussy, Yanti yang
sedikit keki menyimpulkan dengan pertanyaan retoris, “O… ternyata kita ini
sekelas dari kelas 1, kelas 2, sampai kelas 3 ya, Sus?” :)
Lupa itu wajar, kan sudah tahunan berlalu. Kalau ingatan
terlalu tajam malah mencurigakan. Ini seperti kejadian beberapa tahun yang lalu
dalam reuni SMP. Kami yang berasal dari kelas berbeda-beda kebetulan berdiri berkelompok.
Kenalnya ya baru pada saat itu. Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat, menyalami
kami satu-satu dengan cara orang Sunda. Sambil menyalami dia menyebut nama kami
satu per satu. “Eh, Ika...” “Eh, Sri...” “Eh, Anna…” “Eh, Yuni…” dst. Kemudian
dia langsung ngeloyor pergi. Kami semua terheran-heran. Bagaimana dia bisa tahu
nama kami semua, padahal kami saja belum saling kenal sebelumnya? Kami saling
bertanya-tanya, sampai pada akhirnya salah seorang menunduk dan terlihatlah name tag-nya tersemat di dada. Terang saja
dia tahu! Kurang asem tuh orang….
Tapi untunglah daya ingat saya lumayan bagus untuk mengenali
teman-teman sekelas di reuni SMA ini. Hanya Kiki yang bikin pangling sehingga
saya terpaksa memandangi pin-nya untuk membaca namanya. Martin juga saya kenali
berkat Facebook. Kalau tidak ada Facebook saya pasti tidak menyangka
bahwa dia sudah sebotak itu sekarang. Hehehe, maaf Martin. Martin langsung
menantang saya dan Sussy untuk menebak siapa laki-laki yang berdiri di
sampingnya. Saya langsung ingat! Tapi cuma wajahnya, bukan namanya. “Tunggu,
tunggu, jangan dikasih tahu dulu,” kata saya. Sesudah memeras otak beberapa
saat tidak juga ketemu namanya, saya cuma bilang, “Pemusik kan?” Dwiono
mengangguk senang. Tidak apa lupa nama, asal tidak lupa saja bahwa dulu saya
anak band, mungkin begitu pikirnya.
Namun teman-teman saya masih mengenali saya kok. Yang tidak
kenal ya itu karena sejak SMA memang tidak kenal saja. Kecuali Lily. Dia lupa
karena rambut saya sekarang beda. “Di-rebonding
ya?” Waduh, bukan Ly. Ini rambut saya yang asli, justru waktu itu rambutnya
saya buat keriting (entah kerasukan apa saya waktu itu, maklum masih labil).
Rambut memang bisa bikin susah. Saya pernah menguping sebuah
percakapan, masih dalam reuni SMP. ‘Ini Ibo,” kata seorang perempuan. “Beneran.
Sumpah, gua Ibo. Emang rambut gua udah lurus, tapi beneran kok, ini Ibo,” katanya
berusaha meyakinkan sementara teman-temannya memandang dengan dingin dan
curiga. Hihihi, kalau sudah dapat julukan sayang ‘Ibo’ karena rambutnya kribo,
ya jangan sekali-sekali meluruskan rambut! Akibatnya bisa tidak dikenali oleh
teman-teman dekatnya sendiri.
Banyak kejadian, orang-orang yang tadinya tidak kenal
kemudian jadi dekat setelah sama-sama menghadiri reuni. Atau bisa juga tiga
tahun berada di kelas yang sama, baru kenal sifat aslinya bertahun-tahun
kemudian, juga di reuni. Seperti teman sekelas saya Michael. Dengan senang hati
dia mempromosikan teman lainnya yang punya bisnis saham. Alur promosi diarahkan
olehnya, diselingi dengan komentar-komentar kocak. Aduh, Mike, kamu itu sudah
lucu dari dulu-dulu, apa ya. Kok saya tidak tahu sih? Saya pikir dia itu
orangnya pendiam. Tapi Sussy membantah. Katanya, Michael dari dulu juga sudah
lucu.
Bicara bisnis di reuni tentu saja tidak dilarang. Siapa tahu
kan, yang tadinya cuma senang-senang ternyata bisa juga membawa keuntungan.
Tapi itu bergantung kepada jenis bisnisnya dulu. Yanti terang-terangan berkata
bahwa dia tidak akan mau diperiksa oleh Boy yang dokter kandungan, sampai kapan
pun. Betul Yan, setuju! Cari dokter kandungan yang sama sekali belum pernah
kenal saja. Lain halnya untuk dokter yang lain. Begitu ketemu dengan teman yang
saya tahu dulu kuliah di fakultas kedokteran, saya menyambutnya dengan sapaan,
“Sekarang kamu jadi dokter apa Din?” “Dokter Rehabilitasi Medik,” jawabnya.
“Kebetulan! Gini Din, aku punya masalah. Bla bla bla….” Yang dengar pada
protes. “Woy, datang ke reuni jangan malah konsultasi!” Ah, masa bodolah. Ini
kan kesempatan. Tapi sayang, ternyata Dindin tinggalnya di Cirebon, sudah
begitu saya lupa lagi minta nomor teleponnya. Duh….
Acara yang paling ditunggu dalam reuni tentu saja foto
bersama. Saya yang biasanya paling malas bawa kamera ke mana-mana untunglah
saat itu bawa kamera saku. Mas tukang fotonya saya titipi kamera saya. “Mas,
kalau mau motret bilang aba-abanya ya,” kata Michael, “biar kami sempat nahan
perut.” Hehehe, tidak usah dipikirlah Mike, itu sudah jadi problem semua orang,
kok. Maka kami pun bergaya dengan mengacungkan tiga jari. Tiga, artinya SMA 3. Tapi
karena susunan jarinya yang khas itu juga bisa merupakan lambang dari musik
Metal (apa ini sekarang masih berlaku ya?).
Sebelum pulang kami sempatkan lagi foto-foto. Di depan
gedung didirikan foto dua anak SMA, laki-laki dan perempuan, dengan ukuran asli.
Kedua wajahnya dilubangi. Nah, ini dia! Langsung saya ajak Kukuh untuk
memasukkan muka ke sana dan… klik! klik! Jadilah saya punya foto berpakaian
seragam putih abu-abu lagi. Kami berlima (sayang David dan Dina tidak bisa
datang ke reuni) lalu foto bersama di depan kain merah yang bertulisan moto
sekolah kami: Knowledge is Power but
Character is More. Keren kan motonya? Sudah itu pamitan, dadah-dadahan,
sampai ketemu lagi, kalau ke Bali mampir ya. Tidak ada pembahasan lagi mengenai
pergi bersama mendaki Gunung Tangkuban Perahu lewat jalur Jayagiri. Zaman dulu
saja hampir semaput menjalaninya, sekarang mau gagah-gagahan? Sudah ah!