Kafe ajaib yang saya datangi cuma untuk pai apelnya ini sering
membuat saya menderita sindrom Skuter (Skuter adalah nama kafe tersebut)
setelahnya. Karena sudah kapok bereksperimen dengan menu-menu yang ada di sini,
biasanya sindrom ini disebabkan karena saya datang terlalu pagi dan pai apelnya
masih ada di oven sehingga saya harus memilih kue jenis lain. Sesudahnya, perut
saya akan terasa aneh yang cuma bisa disembuhkan dengan teh panas yang pahit. Karena
itu saya agak heran juga kenapa saya cukup sering datang ke sini. Apakah karena
dekat atau kebiasaan, saya tidak tahu pasti. Kalau mau jujur sih, mungkin saya
harus mengakui bahwa bagaimanapun kafe ini adalah sumber berita dan gosip yang
sering renyah bin krispi, terutama berita tidak penting mengenai orang-orang
yang tinggal sekitar daerah ini. Walaupun beritanya sering tidak bermutu,
kadang-kadang ada juga yang layak untuk diberi perhatian, seperti yang akan
saya ceritakan di sini.
Seorang Bali berusia lima puluhan terjatuh dari sebuah
tebing terjal ketika sedang menebang pohon bambu. Cukup parah juga, tulang
punggungnya menghantam keras tanah sehingga dia menjadi lumpuh. Dia tidak bisa
bekerja lagi. Malangnya, tidak seorang pun diperkenankan menolong bapak ini
karena dia menebang bambu pada hari yang salah. Di hari naas itu orang pantang menebang
bambu. Oleh karena orang tidak diperkenankan menolong korban, beberapa
ekspatriat daerah ini mengumpulkan sumbangan agar bisa menopang kehidupan bapak
ini.
Apakah cerita ini berlebihan, seperti biasa tidak bisa
dipastikan. Saya tidak tahu seberapa parah cederanya, tidak tahu apakah bapak
ini punya sanak-saudara atau tidak. Saya juga tidak mau menilai apakah larangan
untuk menolong ini kejam atau tidak. Yang ingin saya katakan adalah, banyak
larangan dan pantangan yang sering tidak masuk akal itu sebenarnya ada dasar
pemikiran rasionalnya. Larangan untuk menebang pohon dan membuka ladang di
daerah tertentu di sebuah hutan, misalnya. Biasanya orang ditakut-takuti,
disebarkan berita tempat itu angker dan banyak dedemitnya yang bisa membuat
pelanggarnya sakit panas atau kesurupan. Ini pada dasarnya untuk melindungi
hutan itu sendiri, pengetahuan bijaksana yang didapatkan secara turun-menurun.
Jangan lupa, hutan adalah sumber air. Begitu juga larangan untuk menangkap ikan
di tempat tertentu dan pada waktu tertentu, sebenarnya mempunyai tujuan untuk
memberi kesempatan pada ikan-ikan untuk berkembang biak dahulu. Ikan-ikan ini
bisa ditangkap dan disantap lagi kemudian, kalau jumlahnya sudah banyak dan
ukurannya cukup besar sehingga yang makan pun akan kenyang hehehe.
Kapan hari baik atau kurang baik untuk melakukan suatu
kegiatan itu dapat dilihat dalam kalender Bali. Begitu juga hari-hari pentingnya.
Untuk bulan Februari ini misalnya, ada tiga hari penting, yaitu Galungan,
Umanis Galungan, dan Kuningan yang masing-masing jatuh pada tanggal 1,2, dan
11. Hari-hari penting lainnya adalah tanggal 4,5,6,7,8,10,15,17,21. Aw, kapan
hari santainya ya? Juga diberikan petunjuk kapan membuat bendungan, sumur,
penangkap ikan, dsb. Kapan jangan melakukan upacara, jangan membajak, jangan membuat
terowongan. Kapan harus memberi nasihat. Nah, yang ini penting nih. Untuk
mereka yang nasihatnya tidak pernah didengarkan orang, mungkin itu cuma masalah
waktu yang tidak tepat. Ganti saja harinya, pasti semua yang dinasihati akan
manggut-manggut, dijamin :).
Pokoknya, semakin dibaca semakin ketahuan lengkapnya kalender ini. Tapi masih
ada yang kurang. Hari libur nasional yang jatuh pada tanggal 5 Februari tidak
ada di sana. Juga tidak tertera kapan gergaji listrik dan pengaduk semen
dilarang beroperasi, padahal itu penting sekali untuk saya :(.
Bicara mengenai kalender, sampai bulan Februari hampir habis
saya masih belum punya kalender. Aneh juga, bagaimana mungkin benda yang
sesederhana itu susah sekali dapatnya. Walaupun entah apa kegunaannya karena
saya bekerja menuruti mood dan bukan
menuruti hari, saya punya perasaan samar-samar tidak jelas bahwa tahu hari-hari
libur nasional itu ada manfaatnya suatu hari nanti. Waktu pergi ke Gramedia
Denpasar yang ada cuma kalender Bali. Di Ubud pernah hampir beli, tapi ternyata
di dalamnya tidak dicantumkan satu hari libur nasional pun. Maklum, ini pasar
untuk turis, hari libur nasional kita tidak penting untuk mereka. Akhirnya pada
suatu hari teman saya Aryo memberi sebuah kalender yang didapatnya dari seorang
ibu tua. Ini ada ceritanya sendiri.
Ibu ini tidak punya rumah maupun sanak-saudara. Dia
menggelandang di Ubud, tidur di mana saja dia tidak diusir. Aryo kadang-kadang
memberinya uang, biasanya 100 ribu sekali beri. Lama tidak bertemu, suatu hari
ketika kami sedang ngobrol di sebuah kafe ibu ini menghampiri dan meminta uang
pada Aryo. Ini suatu hal yang baru karena belum pernah terjadi sebelumnya. Aryo
memintanya pergi ke pojokan jalan dan memberinya uang di sana. Sebagai
balasannya perempuan ini memberi sebuah kalender dan brosur tebal. Aryo
memberikan semua itu pada saya karena dia tahu sudah lama saya cari kalender.
Saya senang sekali sekaligus kagum karena dalam keadaan
miskin ibu itu masih punya harga diri. Saya juga ingat bahwa Aryo pernah diberinya
sebungkus roti mari bertabur wijen yang ternyata enak juga. Saya periksa kalendernya,
ternyata keluaran sebuah bank nasional terkenal. Kertasnya tebal dan kualitas
cetakannya bagus sekali. Sesudah saya bolak-balik, baru saya melihat tahunnya
di bagian paling depan. 2011! Semua yang duduk semeja tertawa terbahak-bahak.
Aryo cuma bisa menghibur, katanya saya akan dapat kalender juga kalau sudah
tiba saatnya nanti. Yah, mudah-mudahan saja jauh sebelum bulan Desember tiba.