Seorang
dokter curhat pada saya, “Orang itu ada
saja alasannya kalau disuruh berenang. Nanti kulit saya kasarlah, nanti rambut
saya keringlah, nanti rambut saya merahlah. Padahal alasan sebenarnya kan bukan
itu. Anda juga, waktu pertama kali disuruh berenang mukanya langsung
asem.” Kasihan sekali dokter ini,
menyuruh orang berenang rupanya bukan tugas yang mudah. Padahal sebagai seorang
chiropractor nasihatnya memang
itu-itu saja. Berenang. Dan kalau saya tiga bulan terakhir ini rajin berenang
tentu bukan karena kasihan pada dokter itu. Karena pengen sembuh dong.
Teman-teman
saya pasti tidak akan percaya kalau tahu pelajaran yang paling saya sukai di
sekolah adalah olah raga. Habis saya tidak ada potongan olahragawan sama sekali
sih. Main voli tidak bisa. Main basket tidak becus. Main bulu tangkis apalagi.
Walaupun tidak pernah terpakai dalam pertandingan olah raga antar kelas saya
suka sekali lari-lari, lompat-lompat, dan menggerak-gerakkan badan di udara
terbuka. Kalau guru olah raganya cerewet, terus berpidato sementara kami
berdiri berbaris dan diharapkan mendengar saja, saya kesal betul. Udara sedang
cerah, buat apa mendengar wejangan yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri
lagi? Apalagi kalau jam olah raga dipakai untuk mencatat teori. Itu pelanggaran
hak asasi anak untuk bergerak badan namanya :(.
Dokter itu
kembali melanjutkan bicaranya, “Saya tadinya ragu apakah Anda mau menuruti saya
untuk berenang. Untunglah Anda mau.” Hehehe, dokter itu tidak tahu bahwa
berenang adalah satu-satunya olah raga yang saya bisa. Bisa dan suka. Kalau
dokter itu bilang muka saya asem disuruh berenang, itu karena sudah hampir dua
tahun saya tidak pernah berenang dan percaya bahwa berenang akan membuat bahu
dan lengan saya jadi sakit. Siapa sangka bahwa saya justru harus berenang? Setelah
satu minggu membiarkan saya bersenang-senang dengan gaya dada dokter menyuruh
saya untuk berenang gaya bebas juga. Nah, ini baru masalah. Gaya bebas bukan
gaya favorit saya. Selain itu dokter juga meminta saya untuk berenang gaya
bebas dengan mengambil napas tidak hanya ke arah kanan, tapi juga ke kiri. Halah,
pelatih renang saja tidak bakalan minta yang aneh-aneh seperti ini. Memang itu
keuntungannya jadi dokter, tidak perlu melakukan nasihatnya sendiri. Tapi
untunglah setelah membiasakan diri saya bisa memenuhi perintah itu. Gaya bebas yang sering saya hindari dulu
sekarang tidak masalah lagi. Saya sampai ingin mengusulkan pada yang tidak bisa
berenang untuk sakit punggung saja. Pasti nanti jadi jago berenang karena terpaksa.
Mendapatkan
kolam renang yang sesuai selera itu urusan yang gampang gampang susah. Di sini
sebenarnya banyak sekali kolam renang. Banyak vila yang dilengkapi dengan kolam
renang pribadi. Tapi ukurannya membuat saya tidak sampai hati menceburkan diri
ke dalamnya. Saya pernah mimpi berenang. Dalam mimpi saya itu saya tidak
berhasil membuat badan saya basah. Baru satu kali kayuhan tangan, sudah sampai
ke ujung kolam. Satu kayuhan lagi, sampai ke ujung kolam satunya lagi. Saya
frustrasi, seperti berenang di udara kosong saja. Kolam-kolam yang ukurannya mini
di vila-vila itu membuat saya trauma karena ingat mimpi saya. Tapi ternyata ada
juga orang yang bisa menikmati kolam seperti itu. Seorang teman saya bergaya
dalam foto yang dipasangnya di Facebook, di sebuah kolam di sebuah vila di Ubud.
Ukuran kolamnya keciiil sekali, lebih cocok
untuk rendam-rendam saja pada saat udara sangat panas. Namun dia mengenakan
perlengkapan snorkeling lengkap! Untuk mencari uang koinnya yang jatuh ke dasar
kolam?
Kolam yang
ideal buat saya juga sebaiknya sepi. Tidak ada anak-anak kecil yang tidak bisa
berenang sehingga menghalangi orang yang
sedang berenang. Tidak ada anak yang menjerit-jerit ketakutan. Saya juga pernah
kok beberapa kali masuk ke kolam untuk berenang basa-basi. Kecipak-kecipak
sedikit, terus main oper-operan bola, diselingi dengan menghirup minuman
dingin. Asyik juga sih, tapi kegiatan yang lebih bernilai sosialisasi daripada
olah raga ini tidak terlalu saya nikmati. Saya lebih suka duduk selonjoran di
kursi panjang di pinggir kolam dan memperhatikan tingkah polah bermacam-macam
orang yang ada di sana.
Betapa
senangnya saya ketika akhirnya menemukan kolam renang yang cocok. Ukurannya
pas. Sepinya pas. Airnya yang dingin juga tidak masalah ketika saya sudah bergerak
di dalamnya selama beberapa menit. Saya akui bahwa saya memerlukan waktu yang
cukup lama untuk bersiap-siap. Minum dulu, kotak-katik ponsel dulu, celingak-celinguk
dulu, padahal sebenarnya sedang
mempersiapkan mental untuk menerima kejutan dingin ketika pertama kali air
menyentuh kulit. Yang saya perlukan adalah seorang teman yang iseng atau tidak
sabaran yang mendorong saya ke dalam kolam sementara saya masih terus berpikir
sambil mencelupkan sebelah ujung kaki, “Sekarang? Atau nanti dulu? Sekarang?
Atau…?” Byur!
Waktu saya
masih kecil dulu dan berenang di kolam yang sedikit lumutan, di pinggir kolam
ada pengumuman yang mengharuskan orang berpakaian renang kalau ingin berenang.
Dalam pikiran saya, kok aneh sekali, namanya berenang ya pasti pakai baju
renang, dong. Tapi ternyata itu bukan suatu kepastian mutlak. Di kolam tempat
saya berenang sekarang ini ada perempuan yang berenang dengan mengenakan celana
pendek dan kaos biasa. Apa dia berpikir pakaian seperti itu lebih sopan? Dia
tidak sadar bahwa kaos tipis warna putih yang dipakainya itu basah dan menempel
ketat di badannya yang agak montok sehingga lipatan-lipatan lemaknya jelas
terlihat begitu juga bulatan perut dan pusarnya. Garis-garis behanya juga. Mm,
mungkin dia lupa bawa baju renang ketika menginap di hotel ini.
Setelah itu
datang lagi seorang bapak-bapak. Karena dia memakai sepatu keds dan membawa
tas, dia pasti bukan tamu yang menginap. Alat-alatnya lengkap. Kaca mata
renang, sumpal kuping, topi renang. Tapi baju yang dipakainya berenang adalah
kaus singlet biru muda dan celana pendek dari kain biasa. Ya ampun, boleh saja
dia berpikir berbaju seperti itu sopan karena lebih banyak bagian tubuh yang
tertutup, tapi buat saya, yang dipakainya itu adalah kolor! Hanya boleh dipakai
di dalam kamar, bukan di tempat umum. Saya memalingkan muka dan tidak ingin
menunggu sampai bapak ini selesai berenang dan keluar dari kolam. Sungguh, saya
tidak ingin melihatnya. Bapak ini sepertinya punya jadual hari berenang yang
sama dengan saya karena saya melihatnya lagi pada kesempatan lain. Untungnya
dia selalu datang pada waktu saya hampir selesai. Saya keluar dari kolam dan
langsung ganti baju, tidak jadi duduk selonjoran sambil berjemur.
Rekan kerja
saya pernah menunjukkan fotonya di kolam renang sedang berbikini. Pesannya
cukup jelas, bahwa dia hanya berbikini ketika jauh dari rumah. Waktu itu dia
sedang berada di atas kapal pesiar yang berkeliling ke beberapa negara Asia
Tenggara. Selama saya berenang di berbagai kolam renang umum di Bandung hanya
sekali melihat orang berbikini. Itupun dia selalu bersidekap berusaha menutupi
dadanya. Sekali waktu saya melihat seorang perempuan berjalan di tepi kolam
dengan pacarnya. Perempuan ini berbaju renang dan pakai sarung Bali. Kemudian dia
nyebur ke kolam sekalian dengan sarungnya! Saya melongo. Oh, ternyata, sarung
itu kemudian dilepas dan diberikan pada pacarnya yang masih menunggu di pinggir
kolam. Saya bingung melihat kerepotan yang diciptakan dua sejoli itu.
Di Ubud ini
ketika berenang di salah sebuah kolam renang di rumah pribadi yang
penampilannya seperti yang ada di majalah-majalah saya menjadi satu-satunya
yang pakai baju renang one piece model
klasik. Yang lainnya berbikini. Sampai sekarang saya masih bertahan dengan
model baju renang kesukaan saya ini baik di Bandung maupun di Ubud, walaupun
semakin banyak saya lihat perempuan yang mengenakan baju renang one piece berlengan pendek dan panjang
celananya mencapai setengah paha. Menurut saya itu bukan baju buat berenang,
tapi buat balap sepeda.