Dalam satu hari, waktu yang paling saya suka adalah
menjelang matahari terbenam. Semakin malam semakin suka saya pada suasananya. Apalagi
kalau saat itu saya sedang dalam perjalanan di tempat yang agak sepi di daerah
pedesaan yang jauh dari kota. Pohon lebat di kiri kanan, jurang dan lembah,
jembatan kayu di atas sungai yang deras. Ini diselingi dengan kelompok
rumah-rumah sederhana yang diterangi lampu yang suram, sedangkan orang hanya
terlihat satu dua di sana-sini. Inilah saatnya ketika para raksana, jin dan makhluk
halus lainnya berkeliaran, mengendap, dan mengintai orang-orang yang lengah.
Ada satu foto dari masa kecil yang sangat saya sukai dan
saya simpan selama beberapa waktu. Foto yang diambil oleh ayah saya itu memperlihatkan
saya bersama ibu, kakak, dan adik berpose di depan VW kodok berwarna putih yang
diparkir di pinggir jalan. Latar belakangnya adalah sawah yang luas membentang.
Langitnya hitam mendung, suram sekali. Semua warna diliputi oleh sapuan kelabu
gelap. Suasana suram di foto itu begitu mencekam, bahkan senyum kami terlihat
ragu-ragu. Saya ingat bahwa waktu itu kami segan sekali keluar mobil untuk diambil gambarnya.
Hari Galungan yang sekarang ini saya lewatkan dengan diam di
rumah. Tidak seperti tahun lalu—yang saya maksud adalah tahun Bali yang lamanya lebih
kurang 6 bulan Masehi—di mana pagi-pagi sudah keluar, sekarang saya tidak
terlalu antusias dengan segala macam penjor. Baru pada sore harinya teman saya
mengajak ke Ubud. Saya senang, pergi ke Ubud berarti bisa makan es krim Italia
yang lembut dan enak sekali. Tapi karena motor kami terhalang kemacetan panjang
yang disebabkan oleh rombongan barong, teman saya yang tidak sabar memutar
motor dan kemudian berbelok ke kiri keluar dari kota Ubud. Motor dijalankannya
berkilo-kilo meter. Haduh, mau ke mana ini? Saya tidak siap ke luar kota karena
pakaian saya hanya celana pendek dan kaos. Untung di bagasi ada sehelai sarung,
jadi saya ikatkan saja di bahu jadi semacam ponco. Teman saya juga meyakinkan
saya bahwa kami tidak akan pergi sampai ke Kintamani. Terlalu jauh dan dingin.
Sedikit setelah melewati Tegallalang motor dibelokkan ke
kiri. Suasana jadi berbeda. Jalan raya yang mulus digantikan dengan perkampungan
dan pohon-pohon besar yang lebat. Menjelang matahari terbenam kami berhenti di
sebuah pura. Gerbangnya yang dikunci hanya mengijinkan kami melongok melalui
tembok yang tua dan tak terurus serta diliputi lumut ke pelatarannya yang sama suramnya.
Dua raksasa menjaga gerbang itu, masing-masing membawa gada di tangannya. Mata
mereka membelalak menyeramkan, mulutnya menyeringai memperlihatkan sepasang
taring yang tajam. Saya merasa tidak diinginkan ada di sini. Sekelompok
anak kecil ribut menyapa sambil melambaikan tangan dari kejauhan, meminta maaf
atas sambutan raksasa yang kurang ramah.
Perjalanan dilanjutkan melewati jalan yang semakin sepi. Pohon-pohon
beringin tumbuh lebat sekali, akarnya yang bergantungan menjulur ke bawah
sampai menyentuh kepala kami. Sinar matahari yang hanya sedikit tersisa tidak
sanggup menembus lebatnya dedaunan. Motor dijalankan pelan-pelan. Ketika
lembabnya suasana hutan lebat terlewati, yang kami temukan adalah pura-pura
kecil tak terurus yang berlumut dengan gerbang yang lagi-lagi dikunci. Kemudian
muncul kelompok rumah-rumah, toko dan warung sederhana dengan lampu yang sudah
dinyalakan. Jajaran penjor terlihat kurang meriah karena suasananya sudah
menjelang malam. Kebanyakan rumah memiliki halaman yang bertembok yang
menghalangi pandangan orang yang serba ingin tahu. Ketika ini pun terlewati,
sawah terbentang luas di kejauhan. Di sebelah sana ada Pak Tani yang terlambat
pulang ke rumah, dia memanggul karung besar sambil membawa celurit di tangan.
Pembantu saya dulu sering menakut-nakuti bahwa petani di sawah yang membawa
karung dan celurit ini menyembunyikan seorang anak kecil yang baru diculiknya di
dalam karung. Ceritanya ini sanggup membuat saya cepat-cepat pulang begitu
Magrib menjelang. Bahkan kalau bersepeda siang-siang, begitu melihat petani
membawa karung saya cepat-cepat mengayuh sepeda pulang sambil ketakutan.
Kami kembali melewati jejeran rumah-rumah yang semua pintu
dan jendelanya tertutup. Rumah-rumah itu juga mengingatkan saya pada waktu yang sudah lewat. Sebagai
anak kecil, saya selalu terdiam dan terseret dalam imajinasi liar ketika dalam
perjalanan dengan mobil dari Bandung ke Malang atau sebaliknya, bertahun-tahun
yang lalu. Apa yang ada di dalam rumah-rumah berdinding bilik, berlantai tanah
yang pintunya tertutup rapat itu? Mungkin di sana ada sepasang adik kakak yang
sedang menunggu orang tuanya yang tidak pulang-pulang? Mungkin ada seorang ibu
yang sedang menghidangkan nasi dan sayur bayam untuk seluruh keluarga yang
semuanya diam? Mungkin ada kamar yang kotor dengan seseorang sedang berbaring
di dipan? Ingin sekali rasanya saya tinggal di salah satu rumah itu, berbaju sederhana,
bertelanjang kaki, dan tidak perlu sekolah.
Perjalanan bermotor terus dilanjutkan sampai kami tersadar
bahwa kami tersesat. Di mana ini? Ada perempatan, tapi tidak ada petunjuk arah
yang bisa kami ikuti. Kenapa pula mesti tersesat di tempat tidak ada orang untuk
ditanyai ya. Untung tak lama kemudian ada seorang bapak tua datang menghampiri.
Dia berpakaian rapi, mengenakan sarung dan ikat kepala. Suaranya ramah dan
tidak pelit memberi informasi. Setelah bapak ini muncul beberapa orang juga,
mereka berdatangan dan membentuk kelompok kecil. Rupanya mereka sedang menunggu
barong, dan barong itu harus disambut sepantasnya dengan mengenakan pakaian
adat yang layak. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami bertemu juga dengan rombongan barong yang sedang
ditunggu-tunggu itu. Barong muncul dari cahaya remang-remang dengan diiringi
bunyi gamelan dan dikawal oleh ratusan orang. Tampilannya seperti singa dengan
rambut tebal, putih dan panjang serta memakai berbagai perhiasan indah dari
kaca warna-warni. Barong, raja dari segala macam roh. Sebagai pelindung manusia
dia dihidupkan oleh roh yang merupakan pendamping seorang anak.. Baronglah yang
mampu mengalahkan Rangda, sang Ratu Setan yang merupakan titisan Calon Arang
yang jahat. Rangda menimbulkan mala petaka, banjir dan wabah penyakit.
Peperangan di antara kedua makhluk luar biasa ini bersifat abadi. Kebaikan
melawan Kejahatan.
Setelah memperhatikan sejenak kami tinggalkan pemandangan
yang tak terlupakan itu. Kemeriahan musik dan pakaian warna-warni sekarang
digantikan oleh malam yang semakin gelap dan udara dingin. Di siang hari tempat
ini pasti indah sekali, terbukti dengan sebuah hotel yang sengaja didirikan di
tebing pinggir jalan. Namun yang terlihat sekarang hanya jalan gelap yang
terjal dengan pepohonan rapat, dan suara air sungai yang entah ada di mana.
Lagi-lagi kepala saya disentuh halus oleh akar pohon beringin yang menggantung
di atas, sementara motor terus meluncur perlahan. Kami berhenti sebentar ketika
menemukan gerbang rumah yang indah beserta tempat sesajen yang dihiasi kain-kain
cemerlang. Karena suasananya gelap gulita dan anjing menggonggongi kami dari
balik tembok, tanpa berkata apa-apa kami bergegas pergi.
Akhirnya sampai juga ke jalan besar Tegallalang. Semuanya
terang-benderang dan ramai. Penjor berjajar meriah sekali. Siapa sangka bahwa
negeri para raksasa dan jin tadi hanya berada 8 kilometer dari hingar-bingar
kota Ubud? Pasti saya akan kembali ke sana lagi, kalau bisa menjelang tengah
malam, bukan menjelang Magrib.